Sabtu, 09 Juni 2012

Yah begitu deh...

Suara desingan yang melengking begitu keras baru saja terdengar begitu menyayat. Tutup telinga, refleks tentu saja. Ah sial, susah sekali ternyata mencari toko kamera yang dipinta oleh bos. Apapula ini, aku harus menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk menemukan toko yang entah berada di sudut mana dari Jakarta ini. Oke, aku diongkosin, oke, ini memang kerjaan ku, berkelana menuruti permintaan-permintaan aneh si bos. Tapi untuk permintaannya yang ini, ah rasanya tak mampu aku mentorelirnya lagi. Tapi apapula mau dikata, aku butuh uang, aku butuh uang untuk hidup. Yah, sudahlah. Melangkahkan kaki di tengah kerumunan pasar, melewati bermacam-macam aroma. Aroma ikan busuk, sayur-mayur busuk, bawang busuk, semuanya begitu menyengat menusuk-nusuk pertahanan bulu hidungku yang tidak seberapa banyaknya. Aku merasa begitu terganggu dengan aroma ini, luntur sudah parfum mahal yang aku gunakan tadi pagi, luntur bersama dengan bau kebusukan pasar ini. Ah sial! Berulang kali aku mengutuk keadaan ini, yah, mengutuk. Apapula yang mampu aku lakukan selain mengutuk?

Hei tunggu dulu, ah mana bisa aku disebut sopan tanpa memperkenalkan diriku di tengah cerita ini. Mana bisa aku tiba-tiba muncul begitu saja. Aku makhluk evolusi sama seperti kalian, jadi aku pun memiliki kisah dan peristiwa yang panjang. Kisahku mungkin tak akan mampu ditampung dalam buku tulis bertebal 38 halaman dengan merek sinar dunia, harus yang sangat tebal mungkin setebal buku akuntansi milik Ahong, Sumpah ini terlalu keren aku menyebutnya buku akuntasi, tepatnya mungkin buku hutang. Ah sudahlah, ini biar aku terlihat sedikit terpelajar saja, biar aku bisa dimasukkan dalam golongan kelas menengah. Oke, jadi daripada bosan membaca kisahku yang mungkin tidak menarik atau mungkin tidak ada pelajaran yang bisa pembaca dapatkan, jadi aku perkenalkan diriku saja. Oke, bermula dari apa? Nama mungkin. Baiklah, namaku Astuti. Asalku dari, sebentar biar aku berpikir, cukup sulit sebenarnya untuk menjelaskan dari mana aku berasal, karena yang aku ingat sudah berkali-kali aku pindah kota. Terpelanting-pelanting akan pergerakan sosial (lagi-lagi aku sok seperti orang terpelajar, biarkanlah) mengikuti bibiku, pamanku, pakdeku, kakekku, uyutku lalu terkahir aku mengikuti diriku. Yah, sebenarnya yang terkahir ini aku mengikuti perutku, lapar bos. Tak mau aku mati kelaparan, yah harus bertahan hiduplah. Survive begitu kalau kata orang Jakarta. Eh tapi sebentar, biar jelas, namaku memang Astuti tapi kelaminku laki-laki 100% tulen. Namaku ini saja yang mirip-mirip perempuan, entah ini nama dari siapa. Seingatku aku yah dipanggilnya As, Mas As, Bang As, Pak As, begitulah, serupa dikit-dikitlah Aku dengan Ashton Kutcher. Tapi toh, aku memang agak kesal, nama saja bergender, suka-suka orang tuaku sajalah mau memberiku nama Astuti. Salah memangnya jika aku ini pria tapi bernama Astuti? Tunggu dulu, gender itu apa toh? Ah, aku ini kelamaan memang tinggal di lingkungan orang-orang yang omongannya aneh-aneh. Jadi aku itu pernah bekerja sebagai supir. Yah, majikanku ini omongannya tak mudah aku pahami, dikit-dikit bawa gender, dikit-dikit bawa eksistensi, dikit-dikit bawa apa itu, ah aku lupa. Sehingga pernah satu kali aku bertanya istilah-istilah aneh yang dia gunakan. Nah, saya jadi malah terlibat obrolah panjang dengan dia. Lalu, sejak itu saya diajak ngobrol-ngobrol dengan teman-temannya yang sering datang ke rumahnya. Saya jadi kayak orang terpelajar. Hihihihihi, begitulah.


Tidak ada komentar: