Senin, 11 Maret 2013

11 Maret 2013

Sesekali ia menyeka air matanya. Sesekali ia sesegukan. Entah bahagia, sedih atau apa yag kini ia rasa. Rasa antara yang selalu bercampur di antara banyak kepentingan yang muncul tiba-tiba dan sesekali membujuk sang air mata mengalir begitu saja. Pernah satu kali, ia terbangun dari tidurnya, yah seperti biasa pukul 06.30 pagi, ia tersenyum menggariskan sebuah kebahagiaan yang entah dari mana hadir. Terjadi begitu saja. Pernah juga, ia mengkerutkan dahinya hingga terbentuk alur yang dalam di dalam keningnya yang lebar. Aneh, ia seperti sedang berfikir keras. Rasa antara, ia selalu menamainya dengan sebutan demikian. Yah, agar terkesan keren saja dan ia tidak bingung-bingung lagi jika ditanya oleh temannya. Bukankah memang demikian, pada hakikatnya kita selalu menamai peristiwa dengan nama-nama yang unik bagi kita. Ah, sudah aku melantur.

Kini ia mengambil tissue dari dalam tasnya, menyeka air mata yang baru saja mengalir. Kini ia terdiam, dalam sunyi dan dekapan angin sore hari yang menghembus perlahan-lahan di taman. Ia terdiam, ingin segera bangkit dari duduknya yang ia rasa sudah terlalu lama. Namun, hatinya berat untuk bangkit. Seolah-olah pergolakan batin yang belum selesai kini berkecamuk di dalam dirinya. Ah, iya manusia, demikianlah namanya. Sesekali ia melihat ke arah utara, entah mungkin ia berharap ada yang lewat. Padahal sore sudah mulai perlahan-lahan hampir meninggalkannya. Hanya ada angin yang sesekali membelainya dan mengeringkan air mata yang sesekali turun. Penjual korek api yang sedari tadi berdiri di sebelahnya pun sudah setengah jam yang lalu beranjak pergi. Takut ada angin kencang, begitulah berita perkiraan cuaca yang beredar tadi pagi.

Kini ia menopagkan tangan kiri di atas dagunya, seolah-olah ia berusaha semakin mengukuhkan dirinya untuk tidak bangkit atau meninggalkan tempat tersebut. Kini ia mulai menggigit jemari di tangan kirinya. Gugup? mungkin, atau ia sendiri sedang ketakutan? Tidak ada yang tahu. Hanya ia dan mungkin juga tuhan yang tahu. Ah, aku salah, ia tidak percaya tuhan. Jadi, mungkin hanya ia yang tahu. Kini hembusan angin semakin kencang, menerbangkan remah-remah makanan yang tidak jauh darinya. Daun-daun pun berpilin di atas tanah membentuk pusaran. Angin sudah semakin kencang. Namun ia masih di sana, terduduk menopang dagunya layaknya sok seorang filsuf. Jika aku berada di sana, aku pasti sudah memarahinya. Ah, aku melantur lagi.

Suara gemerisik angin semakin gaduh, pohon-pohon menari mengikuti irama angin membawa, seakan-akan ingin bertanya kepadanya. Namun, ia memang tidak pandai membaca alam. Ia hanya menoleh melihat pepohonan yang bergoyang-goyang dimainkan angin. Kini ia terbangun dari duduknya. Mungkin ia berfikir untuk segera meninggalkan tempat tersebut, namun tatapannya masih saja ke arah utara. Entah bagaimana seolah-olah ia berharap seorang malaikat akan datang turun dari langit dan mungkin menyapanya atau setidaknya Sihar akan datang?


Tidak ada komentar: