Senin, 11 Maret 2013

11 Maret 2013

Sesekali ia menyeka air matanya. Sesekali ia sesegukan. Entah bahagia, sedih atau apa yag kini ia rasa. Rasa antara yang selalu bercampur di antara banyak kepentingan yang muncul tiba-tiba dan sesekali membujuk sang air mata mengalir begitu saja. Pernah satu kali, ia terbangun dari tidurnya, yah seperti biasa pukul 06.30 pagi, ia tersenyum menggariskan sebuah kebahagiaan yang entah dari mana hadir. Terjadi begitu saja. Pernah juga, ia mengkerutkan dahinya hingga terbentuk alur yang dalam di dalam keningnya yang lebar. Aneh, ia seperti sedang berfikir keras. Rasa antara, ia selalu menamainya dengan sebutan demikian. Yah, agar terkesan keren saja dan ia tidak bingung-bingung lagi jika ditanya oleh temannya. Bukankah memang demikian, pada hakikatnya kita selalu menamai peristiwa dengan nama-nama yang unik bagi kita. Ah, sudah aku melantur.

Kini ia mengambil tissue dari dalam tasnya, menyeka air mata yang baru saja mengalir. Kini ia terdiam, dalam sunyi dan dekapan angin sore hari yang menghembus perlahan-lahan di taman. Ia terdiam, ingin segera bangkit dari duduknya yang ia rasa sudah terlalu lama. Namun, hatinya berat untuk bangkit. Seolah-olah pergolakan batin yang belum selesai kini berkecamuk di dalam dirinya. Ah, iya manusia, demikianlah namanya. Sesekali ia melihat ke arah utara, entah mungkin ia berharap ada yang lewat. Padahal sore sudah mulai perlahan-lahan hampir meninggalkannya. Hanya ada angin yang sesekali membelainya dan mengeringkan air mata yang sesekali turun. Penjual korek api yang sedari tadi berdiri di sebelahnya pun sudah setengah jam yang lalu beranjak pergi. Takut ada angin kencang, begitulah berita perkiraan cuaca yang beredar tadi pagi.

Kini ia menopagkan tangan kiri di atas dagunya, seolah-olah ia berusaha semakin mengukuhkan dirinya untuk tidak bangkit atau meninggalkan tempat tersebut. Kini ia mulai menggigit jemari di tangan kirinya. Gugup? mungkin, atau ia sendiri sedang ketakutan? Tidak ada yang tahu. Hanya ia dan mungkin juga tuhan yang tahu. Ah, aku salah, ia tidak percaya tuhan. Jadi, mungkin hanya ia yang tahu. Kini hembusan angin semakin kencang, menerbangkan remah-remah makanan yang tidak jauh darinya. Daun-daun pun berpilin di atas tanah membentuk pusaran. Angin sudah semakin kencang. Namun ia masih di sana, terduduk menopang dagunya layaknya sok seorang filsuf. Jika aku berada di sana, aku pasti sudah memarahinya. Ah, aku melantur lagi.

Suara gemerisik angin semakin gaduh, pohon-pohon menari mengikuti irama angin membawa, seakan-akan ingin bertanya kepadanya. Namun, ia memang tidak pandai membaca alam. Ia hanya menoleh melihat pepohonan yang bergoyang-goyang dimainkan angin. Kini ia terbangun dari duduknya. Mungkin ia berfikir untuk segera meninggalkan tempat tersebut, namun tatapannya masih saja ke arah utara. Entah bagaimana seolah-olah ia berharap seorang malaikat akan datang turun dari langit dan mungkin menyapanya atau setidaknya Sihar akan datang?


Jumat, 08 Februari 2013

Wanderlust

Gue nemu banyak arti kata wanderlust, referensi sederhana dari Wikipedia begini:
Wanderlust is a strong desire for or impulse to wander or travel and explore the world.
 Tapi, ada definisi wanderlust yang pernah ditag-in temen gue di facebook, begini definisinya:
Wanderlust: a desire to travel, to understand one's very existence.
Keduanya bagi gue memiliki makna yang dalam. Tapi, makna yang kedua bikin hati gue bergidik. Baiklah, kisah ini akan dimulai (tampang muka serius).

Sehabis lulus kuliah, gue akui ada dorongan besar dalam diri gue buat menceburkan diri dalam sebuah perjalanan panjang. Melakukan perenungan, mencari diri, mencari  makna, mencari hati, mencari apa yang selama ini para filsuf perdebatkan. Eksistensi. Satu kata sederhana yang didefinisikan oleh jutaan, milyaran manusia sejak dahulu hingga sekarang. Gue yakin, saat ini, setiap detik, orang masih memikirkan hal ini. Meski, enggak semuanya sadar bahwa inilah yang mereka pikirkan. Biasanya hanya sambil lalu gitu aja. Ada yang membuangnya begitu aja, ada yang sampe gila, ada yang sampe bunuh diri, ada yang, ah terlalu banyak kisah manusia tentang hal ini. Gue bukan sang maha tahu dan mampu menuliskan itu semua.

Perjalanan itu udah lama kita rancang, gue sama temen-temen gila gue yang gue juga enggak ngerti kenapa bisa berteman. Emang pada dasarnya kita semua gila makanya bisa berteman. Kita melakukan perjalanan menuju Malang. Yah, bagi gue sebenarnya kemanapun itu, gue akan ikut (emang dasarnya pengen jalan-jalan). Jadilah kita berangkat ke Malang pada 7 November 2012 dari Stasiun Kota, Jakarta dan menuju Stasiun Pasar Turi, Surabaya.  Lumayan, perjalanan memakan waktu 9 jam. Lumayan bikin pantat tepos, tapi bakal bikin pantat bengkak, dan pastinya pantat gue akan menjadi seksi (abaikan, hahaha). Kita berlima, entah apa yang ada di pikiran kita saat itu, di saat orang-orang udah pada mikirin mau kerja apa, mau ngapain abis lulus, eh kita malah jalan-jalan. Kayak hidup cuma buat hari itu. Ah udahlah, emang dasar orang gila.

Sembilan jam di kereta, lumayan kita bisa bikin kegaduhan di kereta itu di jam-jam awal keberangkatan kereta. Ya iyalah, bete berat kan ngapain sembilan jam bengong aja. Jadilah, kita bikin permainan. Kita main ABC lima dasar terus yang kalah harus berdiri dari bangkunya. Nah, gue sih enggak masalah kalau sekedar berdiri doang, masalahnya adalah ketika berdiri temen-temen gue pada nyebut nama gue dengan suara yang keras melebihi kerasnya suara roda kereta. Damn! gue malu. Kebetulan gue kalah mulu. Kampret! ah, tapi emang dasar orang gila. hahahaha. Kita sampe diliatin sama orang-orang segerbong.

Nah, ada lagi. Kita kan berlima, kita dapet kursi yang berenam. Jadi ada satu bangku yang diisi oleh orang yang enggak kita kenal. Dia udah bapak-bapak gitu. Kita sih cuek aja sama itu bapak-bapak. Tapi, mungkin karena bapak-bapak itu enggak enak sebangku sama lima orang cewek-cewek gila kayak kita, jadi dia sering pegi-pergian dari kursinya. Yang gila adalah temen gue bilang: bapak tadi mirip sama kepala sekolah Shinchan. Anjrit! siapa yang enggak ngakak dibilang kayak gitu. Gue sampe sekarang aja masih inget sama mukanya. Sorry Sir, we don't mean it to be rude with you, I swear! GBU.

Baiklah, sampai di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Langsung melaju ke Malang. Tapi sebelumnya kita harus ke Terminal Bungurasih. Lalu melaju ke Malang, menuju ke rumah nenek dari salah satu temen gue yang ikut dalam rombongan tersebut. Keesokan harinya kita menuju Pantai Bale Kambang. Kebetulan banget, itu pantai lagi sepi. Oh iya, kalau mau menuju ke sana enggak ada kendaraan umum yang sampai di sana, karena emang itu pantai terpencil. Macem melakukan perjalanan menuju Pantai Ujung Genteng. Kita harus melewati lereng-lereng pengunungan dan di ujung sana menanti pantai biru, berkerikil putih yang ingin segera disambut. Yah, berkerikil putih. Di sana, lebih banyak kerikil-kerikil kecil ketimbang pasir putihnya. Tapi, gue jamin enggak bakalah nyesel ke sana. Indah banget meeenn.

Jadilah di pantai kita bermain-main, ke sana kemari, nyebur, bangun ini dan itu, foto cantik, foto jelek, foto gila bahkan gue naek-naek pohon macem monyet. Tapi yang berkesan buat gue adalah berjemur di pantai. Terpaan sinar matahari, hilir mudik angin pantai yang membelai-belai rambut basah terkena air asin dan sekelibat pikiran-pikiran eksistensi dan niat kita yang kata temen gue, kita jalan-jalan buat 'healing'. Entahlah, itu semua terasa indah, lepas dan ada.

Keesokannya kita ke Surabaya, menemani temen gue yang mau ada tes. Kita berempat awalnya mendek di mall Tunjungan Plaza. Yah mall! Rasanya pengen bunuh diri lama-lama di mall tersebut. Hingga akhirnya kita memutuskan keluar dan mencari apa yang bisa diberikan Surabaya kepada kita. Jalan ke sini dan ke sana, melewati kantor balai kota Surabaya dan akhirnya sore datang. Temen gue selesai tesnya dan dia bakal tes lagi besok di Surabaya. Akhirnya, tiga orang dari kita (termasuk gue) memutuskan stay di Surabaya, entah mau ngingep, mau ngegembel yang jelas gak mau ikut balik ke Malang. Sayang aja. Akhirnya dua orang balik ke Malang dan kita bertiga di Surabaya.

Kita nonton pertunjukan tayub di Balai Pemuda. Yah, tayub! gue juga kagak ngerti-ngerti amat, cuma unik aja ngeliat kebudayaan di Surabaya. Hingga tengah malam pun tiba. Pertunjukan tayub hampir mencapai puncaknya, kita udah pada capek, akhirnya kita memutuskan untuk nyari tempat istirahat. Nah, ini dia petualangan lain baru dimulai. Gue dan kedua temen gue iseng aja sih pengen nanya-nanya, kali aja di sekitar daerah situ ada penginapan murah. Akhirnya gue bertanyalah kepada seorang ibu yang gue temui di toilet dan bertanya niat kita buat mencari penginapan. Sialnya, si ibu itu enggak tahu apa-apa tentang penginapan. Si ibu itu nanya ke temennya yang juga seorang ibu-ibu. Temennya ibu itu menghampiri kita dan tanya-tanya. Salah satu temen gue udah panik, gue sok cool aja (pret!). Dan makin sialnya lagi adalah, temen ibu itu juga enggak tahu soal penginapan. Jadilah dia bertanya ke temennya juga yang kebetulan seorang bapak-bapak. Bapak itu nanya-nanya kita lagi. Gue udah bosen ditanya-tanya mulu. Woy, gue cuma mau nyari penginapan bukan pengen diintrogasi, lagi juga kita kagak kesesat! Gue menggerutu dalam hati tapi mulut dengan manis menjawab setiap pertanyaan mereka. Ah, anak baik.

Akhirnya, bapak itu mengantarkan kita ke penginapan di Balai Pemuda. Sayangnya, penginapan di sana penuh. Jadinya, dia dengan baik hati mau mengantarkan ke penginapan yang agak deket dari sana, tapi kita jalan sekitar 15 menitan. Sampai di penginapan, kita bertiga tanya-tanya. Eh, gilanya itu penginapan mahal banget, terus setiap kamar paling bisa diisi dua orang. Gue udah jelasin pelan-pelan kalau kita butuh bermalam sampe subuh doang dan enggak mau lama-lama, abis itu kita cabut. Sayang, kita tidak bersepakat dan akhirnya kita keluar. Ternyata sampai di luar si bapak dan satu ibu tadi (yang satu lanjut nonton tayub) masih ada di luar. Damn! kesel juga mereka masih di sana. Yah, bukan apa-apa sih, kita enggak mau ngerepotin aja, tapi mereka perhatiannya keterlaluan.

Akhirnya, kita bilang: "Pak, kita nyari taksi aja." Beloman selesai ngomong, dia langsung nyamber: "Iya taksi aja, nanti kalian langsung ke Bungurasih dan terus ke Malang. Setahu saya, bis ke Malang ada 24 jam di Bungurasih." Daripada puyeng, gue iya-iyain aja. Pas, di taksi kita muter pikiran dan nemu jalan. Ah, iya kan di deket tunjungan plaza ada Mc Donalds. Tapi enggak tahu, itu bukanya 24 jam apa enggak. Sebelumnya, kita juga udah berencana mau ke sana, cuma enggak tahu buka 24 jam apa enggak. Akhirnya, meluncurlah itu taksi ke depan Mc Donalds. Dan ternyata buka! Gue kayak mau sujud syukur! (aku anak alim). Masuklah kita ke surga itu dan ternyata rame banget! Kita sempet mikir, ini apa enggak ada tempat nongkrong lain apa buat orang-orang Surabaya. Ramainya bener-bener deh, kayak jam 12 siang, saat-saat orang mau makan siang.

Akhirnya, kita bertiga menghabiskan malam di sana. Mengganjal mata dengan menu seadanya di Mc Donalds. Berbicara ngalor-ngidul, ketawa-ketiwi, hingga hampir terlelap dan harus membuka mata lagi. Takut-takut kita bertiga kepulesan. Berabeh kalau kepulesan kan. Dan akhirnya, fajar mulai terlihat warnanya, membujuk kita bertiga yang tengah didera kantuk dan lelah dahsyat untuk keluar dan melihat Surabaya pagi. Kita berjalan menyusuri jalan dan mencari sesuap nasi. Lumayan jalannya, tapi Surabaya pagi tenang, adem dan menyejukkan.

Selesai sarapan di bawah pohon besar nan rindang, kita kembali ke Balai Kota buat nonton pertunjukkan Reog Ponorogo. Yah, Surabaya makin memanas. Seakan-akan matahari ngasih diskonnya kebanyakan. Buat kita bertiga yang kemarin seharian berjalan, sore enggak mandi, malamnya enggak tidur dan paginya enggak mandi juga. Surabaya semacam gurun sahara dengan jutaan manusia. Akhirnya, selesai nonton Reog Ponorogo, kita mencari mushola. Sampai di sana, adem bener! (bukan ngiklan ah). Gue kagak kuat lagi buat nahan kantuk dan rasa lelah. Tertidurlah kita berempat. Ah ya, temen kita yang satu lagi telah bergabung. Entah berapa lama kita tidur. Gue tidurnya pasrah aja, enggak perduli mau ada apa. Gue capek, jadi tidurnya nyenyak. Ketiga temen gue yang ikut tidur, mereka bilang dikit-dikit bangun gelisah, mungkin ada perasaan enggak enak.

Bangun dengan wajah kucel, baju seadanya. Ada satu hajat yang belum tuntas. Gue mau mandi. Dengan segala kepedean yang gue punya. Gue mandi di mushola itu, aha! Dan temen-temen gue yang lain juga mandi. Abis puas mandi dan tidur, kita berjalan lagi menuju tunjungan plaza dan menemui teman gue yang selesai dengan ujiannya. Akhirnya. Setelah itu kita kembali ke Malang.

Keesokannya, kita menuju ke Pantai Pasir Putih di Situbondo. Kata temen gue perjalanan ke sana membutuhkan waktu 4 jam. Lama amat! Tapi, ah udahlah, gue mau ke mana aja ikut aja. Perjalanan empat jam dengan menggunakan bis yang jalannya ngebut kesetanan karena emang jalanannya lancar itu berasa gue ada entah di mana. Gue rasanya enggak mau bis itu berhenti dan terus melaju entah kemana. Perjalanan menuju Situbondo ada sejuta pemandangan indah. Sepanjang jalan ada sawah-sawah memanjang dan sesekali ada pohon-pohon kelapa. Dan paling menakjubkan bagi gue, hamparan bukit yang  memeluk bumi di sepanjang jalan menuju Paiton. Dan lebih menakjubkannya lagi adalah perjalanan pulangnya ketika melewati PLTU di Paiton, itu indah banget! (Maklum gue lahir dan tumbuh besar di kota.)

Baiklah, sampai di Pantai Pasir Putih. Sebenarnya itu pantai lebih tenang daripada Pantai Bale Kambang yang memiliki ombak yang besar. Tenang banget. Sesekali gue menutup mata dan mendengarkan bisikan angin, seolah-olah angin dan gue menyatu dan berterbangan menuju angkasa kembali menjadi bintang, bersatu dengan partikel-partikel lain yang pernah terpisah milyaran tahun yang lalu.

Selama beberapa hari di Malang, cukupkah menjadi 'healing' bagi gue dan temen-temen gue? Entahlah, gue enggak tahu. Tapi, kesunyian itu dan ketenangan yang gue dapatkan di antara deru roda kendaraan, suara bising gesekan roda kereta dan rel dan kekonyolan yang kita lakukan. Gue rasa itu cukup memberi obat buat gue pribadi. Meski, gue masih menginginkan sebuah perjalanan yang lebih jauh dan penuh akan keheningan.

Sebelum menutup tulisan ini, gue mau ucapin banyak-banyak makasih sama keluarga temen gue yang mau menampung kita di rumahnya. Dan terutama buat Yangti (yang belum lama ini baru meninggal, sedih gue enggak bisa dateng, semoga Yangti diterima di sisi Tuhan, amin.) yang baik banget dan jadi orang tua yang pengertian banget buat kita di sana. Dan oh iya, tulisan tanpa foto-foto enggak akan yahud, gue kasih di akhir aja. Dan semua foto-foto ini adalah milik temen gue. Thanks to her..

Narsis dikit di Stasiun Pasar Turi, Surabaya.

Lima gadis baik-baik 

Salah satu pemandangan di Pantai Pasir Putih, Situbondo.

Masih di Pantai Pasir Putih, Situbondo.
Pantai Bale Kambang


Sabtu, 27 Oktober 2012

Egomu di Gunung Gede

Setelah mungkin selama setahun gue menyimpan kenangan yang boleh dikatakan bukan kenangan baik dari naik gunung gue pertama kali. Seinget gue, gue naik gunung tepat di awal bulan Juli 2011. Gue sedang tidak dalam kondisi terbaik dari diri gue, yah, gue baru aja sembuh dari sakit thypus. Seminggu sakit thypus gue memutuskan untuk turut serta dengan temen-temen gue yang notabenenya hampir sebagian besar juga belom pernah naik gunung. Awalnya ketika penyakit thypus itu mendera gue memutuskan untuk mengundurkan diri gue buat naik gunung, oh iya, gunungnya gunung Gede. Selama sakit gue ngebayang-bayangin terus gimana rasanya naik gunung. Naik gunung semacam hasrat terpendam gue yang belum pernah gue lakukan.

Beruntungnya, sehari sebelum jadwal keberangkatan naik gunung gue sembuh. Gue seneng banget. Ah, gue pikir gue bisalah naek gunung. Ambisi! Gue inget hari Kamis gue ke kampus, ketemu temen gue yang bakal jadi leader dalam pendakian itu, gue ragu buat bilang ikut karena gue udah membatalkan untuk ikut, tapi dengan entah dorongan tekad dari mana padahal kondisi kesehatan juga baru pulih gue bilang ke temen gue kalau gue mau naek gunung. Temen gue ragu menerima gue, tapi gue ngeyakinin dia buat ngijinin gue ikut. Dan salah satu temen gue yang sering naek gunung juga ngomong begini, "Abang gue sebelum naik gunung sakit, tapi di gunung dia malah sembuh." Nah, siapa coba yang enggak kegoda kalau dibujuk kaya begitu.

Ini tim lengkap sama yang motoin, siap-siap jalan sore hari dari kosan temen gue
Oke, jadilah gue naek gunung hari jumat berangkat dari Depok menuju ke kawasan puncak Bogor, tepatnya menuju gunung Putri tempat pendakian awal. Sampai di sana malam, suasana gelap hawa dingin menusuk hingga ke dalam tulang, gue ngerasa ada hal yang bakalan enggak beres di atas. Tapi gue udah kepalang tanggung, udah di depan mata ambisi pendakian gue, kenapa gue harus mundur. Oke, selesai mengisi amunisi (makan malam) kita segera menuju pos ijin pendakian. Setelah itu, petualangan malam dimulai. Gembira, girang entah gue enggak punya ekspresi yang bagus buat ngegambarinnya.
Tim siap berangkat selesai isi amunisi (makan malam)

Terus dan terus berjalan menuju ke atas, melewati rumput-rumput dan pohon-pohon. Awal perjalanan, masih terlihat rumah-rumah warga di kejauhan, seakan-akan harapan cahaya berusaha menembus kegelapan pekat hutan yang akan gue lewati nanti. Temen gue yang memposisikan dirinya sebagai leader dalam pendakian ini berusaha menghibur kita, para newbie pendaki gunung. Awalnya gue sungguh menikmati setiap tanjakan kaki dan semangat kegembiraan gue mendaki gunung. Perjalanan terus dilakukan, entah berapa lama, enggak sempet lihat jam, gue juga lupa mulai daki jam berapa. Gue hanya fokus melewati setiap titian jalan.

Selangkah demi selangkah suara gemerisik kaki menginjak kaki dan suara-suara malam mengisi harmoni malam itu. Gue enggak akan lupa momen itu, karena gue suka. Lalu pendakian terus melaju, menuju tingginya tanah yang harus didaki, angin malam kembali menusuk-nusuk diri gue. Gue mulai merasakan hal aneh, entah apalah itu, gue hanya ngerasa fokus gue terbagi ke kondisi tubuh gue yang tiba-tiba sepertinya memberontak atas kehendak otak gue yang nyuruh buat terus jalan. Gue diam aja, mengabaikan bisikan badan. Terus leader pendakian itu menghentikan rombongan, kita beristirahat.

Selama istirahat, gue terdiam, mendengar angin malam, merasakan aroma tanah, menatap langit malam yang bersih. Seolah-olah jagad raya tengah mengamati kita yang terduduk dalam lelah dari rangkaian liku perjalanan. Gue menikmati momen itu, ah yah, gue memang suka melamun apalagi momennya mendukung seperti itu.

Lalu pendakian terus dilanjutkan, entah berapa langkah yang telah gue berikan untuk mendaki kembali dan entah kenapa angin seperti berusaha menyatu dengan tubuh gue yang mulai terasa ringkih. Gue mengabaikannya, gue enggak mau menjadi beban bagi temen-temen gue, lagijuga gue terbiasa menghadapi hal tersebut. Entah sampai di mana, dengan sudah berapa kali berhenti gue mulai merasakan sesuatu bersarang di tengah dada gue. Entahlah, gue enggak ngerti, anginkah itu? atau apa? Injakan kaki mulai terasa berat, tiba- tiba otak gue meminta raga gue buat berhenti, "lo harus berhenti!". Damn, lalu gue minta ke kawanan buat berhenti, dan di sanalah petualangan sesungguhnya baru dimulai.

Gue menyandarkan diri gue di atas batang entah akar mungkin yang tersembul keluar dari tanah. Gue merasakan sensasi pertarungan di dalam diri gue. Pusing, mual, badan gue berat, keringat bercucuran, tapi tangan gue dingin. Ah damn! gue bener-bener mengutuk diri gue saat itu. Lalu gue minta tolak angin (bukan ngiklan), gue pikir bisa jadi gue masuk angin (padahal udah makan malam sebelum naik). Kondisi tubuh boleh dibilang lebih baik. Kita melanjutkan perjalanan, awalnya semangat gue kembali tinggi, hayoklah terus melaju hidup cuma sekali, itu yang ada di benak gue.

Tapi, yah lagi-lagi serangan gumpalan seperti menghantam dada gue, entah dari mana asalnya tiba-tiba seakan-akan bersarang di dada gue. Gue nyesek, gue sempet mikir gilak masa gue sakit di sini. Lalu gue meminta temen-temen gue buat berhenti lagi. Yah, gue enggak enak sebenarnya, tapi tubuh gue emang udah enggak ada gunanya buat diajak nanjak. Dari situ gue yakin, temen-temen gue mulai sadar ada yang salah dengan gue. Oh iya, gue lupa posisinya gue udah ngelewatin pos 1 atau belum, ah gue mana sempet mikirin hal itu, pertarungan gumpalan di dada gue lebih menyita pikiran gue.

Oke, gue lupa berapa kali gue minta perjalanan dihentikan untuk istirahat. Gue sadar leader pendakian ini udah kesel sama gue, yah tapi mau gimana, kalau gue bisa jalan tanpa tubuh ini gue bakal lanjut tanpa minta banyak istirahat. Gue sadar banget emang udah mulai ngebebanin yang lain, wajar kalau leader gue agak kesel. Sampai akhirnya, kita tiba di suatu tempat, entahlah yang jelas masih di dalam hutan, kita memutuskan untuk berkemah, padahal harusnya kita berkemah di Surya Kencana sekalian paginya bisa lihat sunrise. Ah, gagal. Ya sudahlah, gue makin enggak enak sama temen gue.

Oke, lalu kita bangun tenda, setelah bangun tenda, gue muntah. Yah gue muntah. Meenn, gue enggak bohong itu muntah bukan muntah yang biasa, seakan-akan gue mengeluarkan sesuatu yang besar di dalam diri gue, yah mungkin gumpalan yang sedari tadi gue rasakan itu kali. Ah, temen-temen pendakian gue masih sering ngecengin gue, katanya gue muntah kayak ngeluarin semua isi perut gue. Hahahahaha, gue ketawa aja, gue aja enggak tahu ngeluarin apaan, yang gue tahu gue cuma muntah air. Udah. Aneh sih. Tauk dah. Gue lemes abis muntah, lalu temen gue ngerokin badan gue di tenda, yah mungkin gue masuk angin.

Abis muntah dan dikerokin oke, kondisi tubuh gue kembali segar, itu sih yang gue rasa. Malam itu, akhirnya kita istirahat di tenda, dingin men, badan gue menggigil, sumpah padahal gue juga sering ngecamp, bahkan dengan kondisi yang lebih dingin dari itu, tapi emang dasar badan lagi sakit, jadi sensitif banget.
Ini tendanya lagi dibangun
Pagi hadir, gue terbangun, lemas sekujur badan, ah gue kesel, yah pastilah perjalanan masih jauh. Keluar tenda gue ngeliat temen-temen gue yang lain, ada yang lagi masak ada yang lagi moto-moto. Ah seneng ngeliat mereka, hahahaha aneh. Terbangun di pagi hari di tengah hutan itu rasanya sepertinya lo adalah makhluk liar yang terbangun dan tersadarkan bahwa hidup itu keras (abaikan). Oke, setelah mengisi perut seadanya kita bersiap-siap untuk melaju lagi. Gue harus kuat! Tanam itu di otak.

Melangkah lagi, menuju puncak, menuju harapan, menggapai sinar matahari yang seolah-olah semakin mendekat dengan kepala. Gue bersemangat. Beberapa kali langkahan, gue masih merasa baik-baik saja. yah, walau kadang gue masih minta buat istirahat. Emang dasar tubuh gue lagi enggak sehat. Lalu, yah sesak di dada terjadi lagi. Damn lah pokoknya. Gue sampe dikasih oksigen tambahan dari tabung oksigen berbentuk kaleng yang dibawa temen gue. Seolah-olah gue punya asma. Lumayan membantu juga itu tabung, perjalanan dilanjutkan. Tapi lama kelamaan gue mulai merasakan kepayahan tubuh gue semakin meningkat, yah emang dasar lagi sakit ini tubuh, cuma semangat doang yang enggak sakit.

Hingga akhirnya dalam beberapa kesempatan gue secara bergantian berjalan berdampingan dengan temen gue, yah gue takut kalau gue ambruk tanpa sadar, tapi enggak terjadi sih. Oke, terus melangkah dalam kondisi tubuh yang sudah payah, langkah pun terasa melayang bukan semakin cepat tapi justru semakin lambat. Tapi terus jalan, temen-temen gue kasih semangat, gue semangat, tapi gue enggak bilang apa-apa. Meen, gue sebenernya pengen bilang, semangat gue enggak sakit, yang sakit tubuh gue.

Istirahat dulu
Istirahat lagi
Gue inget, ini dada gue lagi nyesek!
Oke, hingga akhirnya sampailah di Surya Kencana dengan penuh peluh yang tidak jatuh karena dingin dan seluruh kepayahan yang rasanya gue pengen jatuhkan di Surya Kencana. Indah men Surya Kencana itu, Hamparan rumput dengan diselingi pohon edelweiss. Indah. Gue langsung merebahkan tubuh gue di atas rumput. Menghirup udara sebanyak-banyaknya menikmati tamparan angin yang mengoyak-ngoyak jilbab gue. Gue menikmatinya. Rasanya rasa lelah merembas ke dalam tanah, rasanya gue pengen bangun rumah di sana. Hahahahahaha.

Narsis di Surya Kencana
Surya Kencana dan keindahannya
Si cantik Edelweiss dari dekat

Tapi, perjalanan masih panjang, kita belum sampai puncak dan itu sudah sabtu siang. Kita memutuskan untuk membangun tenda di Surya Kencana. Nah, sebelum bikin tenda buat istirahat kita harus jalan dulu, nyari tempat yang enak buat bangun tenda. Sepanjang perjalan itu, gue melawan arus angin kencang. Gue terus melaju meski kadang tumbang dengan beristirahat di atas rumput. Lalu berjalan lagi. Sampailah tempat di mana temen gue akan membangun tenda. Sampai di sana gue langsung muntah lagi, ah dasar tubuh sakit susah memang buat di ajak kerja berat. Gue sedih. Yah, bakalan istirahat agak lama ini mah.

Perjalanan di Surya Kencana mencari tempat buat bikin tenda

Di tenda gue istirahat, temen gue berinisiatif buat masak bubur. Karena kita enggak bawa beras, jadilah minta ke orang-orang yang juga lagi bangun tenda di sekitar Surya Kencana. Mereka masakin bubur buat gue. Terharu, yah mungkin gue emang masuk angin karena enggak makan nasi sejak pagi. Makanya badan gue ngedrop lagi (dasar tubuhnya orang Indonesia).

Gue makan bubur, dipijitin, istirahat di dalam tenda. Oke, lebih baik sebenarnya. Lalu matahari semakin ke barat, itu udah sekitar ashar kayaknya. Leader memutuskan untuk segera merapihkan tenda dan meneruskan perjalanan. Jujur gue juga pengen, tapi gue enggak ngerti ini tubuh manja banget, sumpah. Tapi gue juga enggak enak sama temen-temen gue terlebih sama leader, yah, gue tahu dia juga nanggung temen-temen gue yang lain. Takut yang lain juga kenapa-kenapa kalau perjalanan enggak segera dilanjutkan.

Akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan kondisi yang kurang lebih gue ngerasa tubuh gue bukan lagi milik gue. Gue dipapah menuju puncak, berasa manula. Perjalanan terus dilanjutkan hingga menuju hutan rapat, pendakian semakin tinggi, gue udah enggak tahu lagi rasanya kayak apa. Lalu perlahan matahari mulai bersembunyi, bulan menampakkan diri, gelap menemani. Gue sempet mikir, gilak masa gue mati di sini! Otak gue enggak bisa berfikir secara sehat. Kaki terus melaju mendaki sambil dipapah di antara bebatuan dan pohon-pohon yang serasa berusaha menghalangi langkah kaki.

Tapi perjalanan harus lanjut! Hingga akhirnya, puncak itu diraih. Gua langsung jatuh di atas puncak gunung Gede, rasanya ini yang sedari tadi mau gue raih sampai gue serasa pengen sujud bahkan guling-guling kalau puncak gunung Gede seluas Surya Kencana. Hampir sebagian besar dari rombongan ikut berbaring. Gue ngeliat hamparan langit seperti hamparan karpet hitam yang dipenuhi dengan hiasan. Indah! Sungguh Indah di ketinggian seperti itu!

Tapi kebahagiaan itu harus segera berakhir, masih ada perjalanan turun menuju Kandang Badak dan Cibodas (tujuan akhir). Turun dari puncak gunung Gede, kita melewati titian yang dibatasi dengan tali besar yang membatasi antara harapan dan kematian (lebay). Pijakan kaki tidak lagi berwarna hitam tanah, tapi berwarna putih seperti kapur tapi keras. Gue semangat banget turun dari sana. Etdah entah kekuatan dari mana yang gue punya ketika turun. Seolah-olah gue udah sembuh dari sakit. Gue bisa jalan dengan benar. Otak gue seolah-olah udah kembali ke tempat asalnya. Dan gue enggak dipapah (penting).

Lalu kita melaju dalam gelapnya malam, mendekap harapan bahwa sesegera mungkin akan sampai di Kandang Badak. Gue enggak mikir apa-apa, selain gue pengen segera turun dengan cepat. Kita semua fokus untuk turun dan sepertinya cuma kita rombongan yang ada di sana. Sepi banget. Tauk deh, kata temen gue setelah seusai pendakian dia cerita kalau dia ngeliat 'something' di sana. Ah, peduli amat gue sama begituan pas di sana, meski gue agak merinding sih, yah tapi jiwa survive lebih tinggi ketimbang mikirin begituan.

Hingga akhirnya sampailah kita di Kandang Badak. Seneng. Perjalanan sudah semakin mengasyikkan. Di Kandang Badak, kita makan bekal yang ada, gue makan bubur sisa yang dibuat temen gue di Surya Kencana. Salahnya adalah, itu bubur udah dingin tapi karena gue laper gue makan aja. Enggak lama kemudian gue muntah lagi. Damn. Saat itu, kesadaran gue enggak penuh, saat itu gue sendiri enggak tahu ada di mana. Gelap, itu yang gue lihat. Gue enggak denger suara temen gue. Gue enggak pingsan, tapi entahlah. Rasa sesaat itu rasanya gue ada di sebuah tempat gelap sendirian enggak liat apa-apa tapi gue ngerasa kalo gue ada di sana.

Tapi beberapa saat kemudian, gue mendengar suara temen gue yang berusaha memijit gue dan berkata ke gue. Entahlah dia ngomong apa. Gue enggak denger jelas. Lalu yang gue inget gue udah ada di dalam tenda, ganti pakaian, menghangatkan tubuh gue dengan sleeping bag dan gue tertidur. Entah tidur berapa lama, gue bangun dalam keadaan gelap, gue melihat temen-temen gue tertidur. Dingin banget sumpah. Lalu temen gue ada juga yang bangun. Ternyata udah subuh. Matahari kembali nongol, seolah-olah dia mau menghangatkan gue yang udah ringkih enggak guna.

Pagi, temen-temen gue pada masak, siap ini siap itu. Artinya itu minggu pagi dan kita harus segera melanjutkan perjalanan. Kondisi tubuh gue, lebih baik dari sebelumnya, entah suntikan kesembuhan dari mana hadir di diri gue. Selesai rapih-rapih kita melanjutkan perjalanan. Gue merasa lebih baik, sehat ah, seneng pokoknya. Entah berapa lama perjalanan terus dilakukan, kaki gue ringan banget melangkah, tubuh seakan terbang, jiwa seolah-olah melayang. Home! itu pikiran gue.

Dan akhirnya kita sampai di Cibodas sekitar siang hari. Gilak gue seneng, bahagia mau jungkir balik apapun lah. Hahahahaha. Gilak perjalanan yang bagi gue rasanya gue bakal mati di gunung Gede ternyata gue sampai selamat di Cibodas dengan riang dan ringan. Gilak, gue enggak tahu kalau enggak ada temen-temen gue apa jadinya gue.

Perjalanan turun justru lebih mudah ketimbang menanjak buat gue, entah mungkin karena tubuh gue yang lagi enggak sehat atau emang gue emang paling bisa pas turun ke bawah ketimbang mendaki entahlah. Sejujurnya gue masih menyimpan trauma (iyalah) gue enggak tahu kapan bisa mendaki gunung lagi, tapi gue masih punya keinginan. Dan pendakian yang nanti gue harus sehat. Bagi gue, mendaki gunung itu boleh dibilang membanggakan, yah bersusah-susah mengalahkan ego tapi satu hal yang gue pelajari bukan ego semata yang dikalahkan tapi juga rasa memiliki di antara rombongan.

Tapi, pendakian gunung itu hanyalah hal kecil dari perjalanan hidup yang lebih banyak membutuhkan banyak ego, kadang pendaki gunung ada juga yang egonya lebih besar dari bukan pendaki gunung. Ada yang mendaki gunung justru semakin membuat dirinya merasa besar karena mampu dan mengucilkan (mungkin tanpa dia sadari) orang-orang yang belum pernah mendaki gunung. Nah, intinya memang ada di diri kita masing-masing. Kelebihan yang kita miliki di atas orang lain bukan dimaksudkan semesta agar kita dapat berbangga diri, justru kita harus berpikir bahwa semesta mendukung diri kita untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginan kita. Jika kita berbangga diri, siapa kita? tanpa keseluruhan molekul dan partikel yang selalu menemani kita, kita adalah nothing.

Jadi bersyukur sajalah dengan apa yang telah ada di diri kita, berbangga hanya menunjukkan bahwa kita tidak pantas berada di semesta ini (ini macem mario teguh yah, abaikan). Eh udah sharingnya, gue sok-sokan paham aja, hahahahah. By the way, yang mau mendaki gunung pesan gue, siapin segalanya-galanya. Karena di sana bukan untuk sekedar lo jalan doang, ada banyak hal tidak terduga ketika lo naik gunung.

Foto terakhir, salam cinta dari Cibodas.. :D

Salam,
 nb: foto-foto di atas adalah koleksi pribadi temen gue yang emang jago foto, gue cuma ditag-in, by the way ini foto koleksinya itop, Thanks to Itop atas foto-fotonya dan buat Chandra, Erik, Yazid, Acen, Riani, Fahsha, Angi dan Karin, lope you all dah, kompak akhirnya kita selamat sampai Cibodas.. :D




Jumat, 26 Oktober 2012

Aku dan perempuan



Suatu ketika gue terjatuh dalam manisnya drama korea. Sebuah kisah sederhana namun meninggalkan bekas akan sebuah fenomena. Sang tokoh utama adalah perempuan yang bekerja sebagai kepala penyunting untuk majalah fashion terkenal di korea. Gue enggak pernah tahu kehidupan seorang kepala penyunting seberapa kerasnya. Namun, fenomena menarik yang hendak gue sorot adalah jiwa kemandirian yang dimiliki perempuan tersebut. Dalam drama korea tersebut ia berusaha 37 tahun, perempuan karir yang sukses, pandai, dan belum menikah. Kecintaannya yang besar terhadap dunia fashion membuatnya melupakan segala hal yang sudah seyogyanya dimiliki oleh perempuan seusianya, yah menikah, memiliki suami, anak dan keluarga kecil yang bahagia. Namun, dia meninggalkan semua ambisi layaknya perempuan biasa. Entah ini bukan tentang dirinya yang memiliki semangat kerja dieksploitasi determinisme kehidupan, namun bagia gue justru itu adalah fenomena menarik yang sebenarnya popular di barat, tetapi tidak di Asia. 

Oke, move on dari kisah filmnya, gue beranjak mencari tahu kisah kehidupan pribadi perempuan ini, Karena bagi gue dia mampu memerankan peran ini begitu apik. Setelah mencari sana sini di dunia maya, perempuan ini bernama Kim Hye Soo dan ternyata gue menemukan sebuah fakta yang lebih mengejutkan. Dia kini berusia 42 tahun, dia hobi melukis, aktris terkenal, dan menurut gue cukup terpelajar, dia mengeyam dua kali pendidikan di Dongkuk University dan Sung Kyun Kwan University.  Nah, jika dihitung secara finansial, mari kita lihat ukuran wealth bagi Korea. Korean Employment Information Service (KIES) menentukan “gold miss” sebagai perempuan di antara usia 30-45 dengan pendapat setidaknya 40 juta won atau kurang lebih $38, 700. Sedangkan “platinum miss” perempuan di antara 30-45 dengan pendapatan kurang lebih 80 juta won atau setara dengan $68, 160. Nah, dengan kepopuleran yang dimilliki oleh aktris perempuan ini selain sebagai aktris, diperkirakan pendapatannya bisa melebihi “gold miss” dan “platinum miss” per tahun.
Menarik. Itu kata yang pertama kali keluar dari mulut gue ketika mengetahui berita ini dari dunia maya. Lalu beranjak, ke kisah cinta perempuan ini. Gue menemukan fakta dia baru saja putus dengan kekasihnya. Hubunga nyang mereka jalani selama 2 tahun kandas, entah gue enggak tahu sebabnya apa. Tapi yang menarik adalah ketika menjalin kasih dengan pria ini dia pernah mengeluarkan statemen begini:

“I’m not a celibate nor do I have any illusions or fears regarding marriage. I plan marry when I really want to but it’s not something I feel strongly about yet.” 

Nah, kalau dia hidup di sebuah keluarga konvensional, gue yakin orang-orang akan melontarkan pertanyaan, “mau tunggu apa lagi? Usiamu sudah cukup tua. Yah ini dia. Oke, lalu tiba-tiba gue teringat dengan percakapan dari film India yang mengisahkan tentang seorang janda yang belum move on dari mantan suaminya yang meninggaal, seluruh keluarga besarnya mendesaknya untuk melanjutkan hidupnya, maksudnya dengan mencari kencan, yah udah 5 tahun juga sih suaminya meninggal. Tapi dialog yang ngena buat gue, dia melontarkan kalimat ini ketika dia mabuk, “Kenapa semua orang begitu pusing ketika ada seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah?” 

Menurut gue, keadaan masyarakat kita (Indonesia maksudnya) memang begitu guyub, apalagi menurut gue hampir kekerabatan di Asia memang guyub. Tetapi, itu menjadi masalah ketika arus laju pemikiran terus berkembang. Keguyuban ini mengikat individu untuk bertindak dalam kurungan norma hingga menampilkan keterkekangan, jika memang individu ini telah menerima nilai lain selain nilai yang ia dapatkan dari masyarakat tempat ia tinggal. Terkadang ini menjadi semacam ketakutan bagi keluarga yang mendapati anaknya, saudaranya yang berusaha keluar dari nilai yang ditanamkan oleh keluarganya. Tapi bagi gue, fenomena untuk tidak menikah atau menikah di usia tua bukanlah sebuah perkara besar. Terkadang perubahan itu ada bukan untuk menghancurkan sebuah nilai, perubahan itu ada karena kehidupan itu dinamis. Istilah konvensional ataupun modern bagi gue itu hanya semacam ketakutan akan miripnya nilai yang ada. Oke, tidak ada yang murni dan bebas dalam hidup ini. Determinisme kalau dalam ranah filsafat nyebutnya. Yah, segalanya itu sudah ditentukan, karena bagaimanapun kita bertindak, pada akhirnya segala keputusan dan tindakan yang kita lakukan adalah berujung pada nilai yang sudah ada. 

Menikah atau tidak menikah adalah pilihan dan segala pilihan akan selalu menuntut tanggung jawab. Dan menurut gue, pilihlah pilihan yang menjadi kehendak hati dan semesta yang kita pahami, jangan membelenggukan diri dalam pandangan bagaimana seharusnya kita bersikap dan menentukan masa depan kehidupan kita. Anda dan saya adalah perempuan yang selalu memiliki pilihan, kitalah yang memilih bukan mereka atau siapapun. Salve. 

Kamis, 09 Agustus 2012

Sebuah kenangan akan masa depan

Sehari penuh aku terlena dalam kepadatan jadwal, sehari penuh aku lupa bagaimana menikmati rasa akan sebuah rasa. Ah, bukan, bukan hanya pada hari ini tapi pada hari-hari sebelumnya aku telah terlena dalam kekakuan dunia. Tekanan demi tekanan datang silih berganti mengisi hari, mengisi lembar-lembar jadwal kegiatan namun mengosongkan rasa. 

Entah lidah pun mungkin tidak mampu mencecap rasa kekosongan yang terasa, hanya aku begitu merasakan kekosongan ini ketika lagu-lagu pelan mengalun atau tanpa sengaja lagu-lagu favoritku semasa kuliah terputar di radio atau di playlist. Hening, yah pada saat itu terasa hening namun setelahnya aku kembali lupa. Tertutupi oleh kekakuan hidup. 

Seperti malam ini, setelah berkutat begitu lama berjibaku dengan tugas-tugas kerjaan yang terpaksa harus aku bawa pulang dari kantor, aku terdiam hening, belum terasa kantuk ini namun entah apa yang harus aku lakukan. Lalu aku iseng membuka-buka dokumen-dokumen di masa-masa kuliah. Yah tertancap satu hal, entah tak mudah aku menggambarkannya dengan deskripsi kata-kata. Hanya saja, yah aku merasakannya. 

Aku bukanlah seorang penyair dari abad romantisisme, lagipula aku lebih suka terselam dalam rasionalisme. Namun, sungguh terasa sebuah nostalgia yang begitu dahsyat mengoyak-ngoyak pertahanan kekakuan hidup yang telah hampir selama lima tahun aku bangun. Hening. Mungkin ini adalah kembalinya aku ke dalam kontemplasi seperti dahulu. Ah, aku semakin nampak seperti penganut romantisisme namun apalah arti label. Biarlah, biar malam ini lagu-lagu kenangan kembali mengalun mengisi kekosongan yang entah tidak memiliki rasa ini.


Senin, 25 Juni 2012

Entah

Aku terdiam ketika tidak ada kata yang mampu terucap dari mulutnya. Aku hanya memendam apa yang seharusnya aku katakan. Aku hanya mengamatinya, seperti biasa. Tak ada kata yang terucap, tak ada suara yang terdengar, tak ada rasa yang dikenal. Semuanya terasa hambar. Aku tidak tahu bagaimana aku harus memulai ini semua, aku tidak tahu bagaimana harus mengakhiri ini semuanya, semuanya seakan-akan menjebakku yang masih termangu di tengah-tengah keadaan ini. Semua seakan-akan menjebakku, aku lupa bagaimana ini bermula hingga aku tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya. Aku terdiam.
"Jadi ini, seperti ini, seperti biasa kamu hanya terdiam, kamu hanya memandangiku, apa yang kamu mau dariku, semuanya sudah kau serap begitu cepat tanpa kau mampu melepaskannya kembali, apa yang harus aku lakukan?" Ia berucap demikian.
Namun aku hanya terdiam, masih termangu entah bodoh atau memang aku sedang menunggu giliranku untuk berkata. Hingga akhirnya ia menangis. Air mata yang sepertinya telah lama ia pertahankan untuk tidak mengalir di depanku. Kini butiran-butiran itu mulai memberikan warna yang berbeda pada wajahnya. Hiasannya mulai luntur karena air matanya semakin deras dengan sesekali kali ia berkata. "Mungkin memang hanya begini kamu mau keadaannya, mungkin hanya seperti ini, mungkin."
Aku masih tak mampu untuk berkata, namun aku memiliki keberanian untuk mendekatinya. Namun langkahku begitu lama, aku seperti melakukan slow motion, entah mengapa terasa begitu lama rasanya untuk mencapainya. Entah.

Sabtu, 09 Juni 2012

Yah begitu deh...

Suara desingan yang melengking begitu keras baru saja terdengar begitu menyayat. Tutup telinga, refleks tentu saja. Ah sial, susah sekali ternyata mencari toko kamera yang dipinta oleh bos. Apapula ini, aku harus menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk menemukan toko yang entah berada di sudut mana dari Jakarta ini. Oke, aku diongkosin, oke, ini memang kerjaan ku, berkelana menuruti permintaan-permintaan aneh si bos. Tapi untuk permintaannya yang ini, ah rasanya tak mampu aku mentorelirnya lagi. Tapi apapula mau dikata, aku butuh uang, aku butuh uang untuk hidup. Yah, sudahlah. Melangkahkan kaki di tengah kerumunan pasar, melewati bermacam-macam aroma. Aroma ikan busuk, sayur-mayur busuk, bawang busuk, semuanya begitu menyengat menusuk-nusuk pertahanan bulu hidungku yang tidak seberapa banyaknya. Aku merasa begitu terganggu dengan aroma ini, luntur sudah parfum mahal yang aku gunakan tadi pagi, luntur bersama dengan bau kebusukan pasar ini. Ah sial! Berulang kali aku mengutuk keadaan ini, yah, mengutuk. Apapula yang mampu aku lakukan selain mengutuk?

Hei tunggu dulu, ah mana bisa aku disebut sopan tanpa memperkenalkan diriku di tengah cerita ini. Mana bisa aku tiba-tiba muncul begitu saja. Aku makhluk evolusi sama seperti kalian, jadi aku pun memiliki kisah dan peristiwa yang panjang. Kisahku mungkin tak akan mampu ditampung dalam buku tulis bertebal 38 halaman dengan merek sinar dunia, harus yang sangat tebal mungkin setebal buku akuntansi milik Ahong, Sumpah ini terlalu keren aku menyebutnya buku akuntasi, tepatnya mungkin buku hutang. Ah sudahlah, ini biar aku terlihat sedikit terpelajar saja, biar aku bisa dimasukkan dalam golongan kelas menengah. Oke, jadi daripada bosan membaca kisahku yang mungkin tidak menarik atau mungkin tidak ada pelajaran yang bisa pembaca dapatkan, jadi aku perkenalkan diriku saja. Oke, bermula dari apa? Nama mungkin. Baiklah, namaku Astuti. Asalku dari, sebentar biar aku berpikir, cukup sulit sebenarnya untuk menjelaskan dari mana aku berasal, karena yang aku ingat sudah berkali-kali aku pindah kota. Terpelanting-pelanting akan pergerakan sosial (lagi-lagi aku sok seperti orang terpelajar, biarkanlah) mengikuti bibiku, pamanku, pakdeku, kakekku, uyutku lalu terkahir aku mengikuti diriku. Yah, sebenarnya yang terkahir ini aku mengikuti perutku, lapar bos. Tak mau aku mati kelaparan, yah harus bertahan hiduplah. Survive begitu kalau kata orang Jakarta. Eh tapi sebentar, biar jelas, namaku memang Astuti tapi kelaminku laki-laki 100% tulen. Namaku ini saja yang mirip-mirip perempuan, entah ini nama dari siapa. Seingatku aku yah dipanggilnya As, Mas As, Bang As, Pak As, begitulah, serupa dikit-dikitlah Aku dengan Ashton Kutcher. Tapi toh, aku memang agak kesal, nama saja bergender, suka-suka orang tuaku sajalah mau memberiku nama Astuti. Salah memangnya jika aku ini pria tapi bernama Astuti? Tunggu dulu, gender itu apa toh? Ah, aku ini kelamaan memang tinggal di lingkungan orang-orang yang omongannya aneh-aneh. Jadi aku itu pernah bekerja sebagai supir. Yah, majikanku ini omongannya tak mudah aku pahami, dikit-dikit bawa gender, dikit-dikit bawa eksistensi, dikit-dikit bawa apa itu, ah aku lupa. Sehingga pernah satu kali aku bertanya istilah-istilah aneh yang dia gunakan. Nah, saya jadi malah terlibat obrolah panjang dengan dia. Lalu, sejak itu saya diajak ngobrol-ngobrol dengan teman-temannya yang sering datang ke rumahnya. Saya jadi kayak orang terpelajar. Hihihihihi, begitulah.