Suatu ketika gue terjatuh dalam manisnya drama korea. Sebuah
kisah sederhana namun meninggalkan bekas akan sebuah fenomena. Sang tokoh utama
adalah perempuan yang bekerja sebagai kepala penyunting untuk majalah fashion
terkenal di korea. Gue enggak pernah tahu kehidupan seorang kepala penyunting
seberapa kerasnya. Namun, fenomena menarik yang hendak gue sorot adalah jiwa
kemandirian yang dimiliki perempuan tersebut. Dalam drama korea tersebut ia
berusaha 37 tahun, perempuan karir yang sukses, pandai, dan belum menikah.
Kecintaannya yang besar terhadap dunia fashion membuatnya melupakan segala hal
yang sudah seyogyanya dimiliki oleh perempuan seusianya, yah menikah, memiliki
suami, anak dan keluarga kecil yang bahagia. Namun, dia meninggalkan semua
ambisi layaknya perempuan biasa. Entah ini bukan tentang dirinya yang memiliki
semangat kerja dieksploitasi determinisme kehidupan, namun bagia gue justru itu
adalah fenomena menarik yang sebenarnya popular di barat, tetapi tidak di Asia.
Oke, move on dari kisah filmnya,
gue beranjak mencari tahu kisah kehidupan pribadi perempuan ini, Karena bagi
gue dia mampu memerankan peran ini begitu apik. Setelah mencari sana sini di
dunia maya, perempuan ini bernama Kim Hye Soo dan ternyata gue menemukan sebuah
fakta yang lebih mengejutkan. Dia kini berusia 42 tahun, dia hobi melukis,
aktris terkenal, dan menurut gue cukup terpelajar, dia mengeyam dua kali
pendidikan di Dongkuk University dan Sung Kyun Kwan University. Nah, jika dihitung secara finansial, mari
kita lihat ukuran wealth bagi Korea. Korean Employment Information Service
(KIES) menentukan “gold miss” sebagai perempuan di antara usia 30-45 dengan
pendapat setidaknya 40 juta won atau kurang lebih $38, 700. Sedangkan “platinum
miss” perempuan di antara 30-45 dengan pendapatan kurang lebih 80 juta won atau
setara dengan $68, 160. Nah, dengan kepopuleran yang dimilliki oleh aktris
perempuan ini selain sebagai aktris, diperkirakan pendapatannya bisa melebihi
“gold miss” dan “platinum miss” per tahun.
Menarik. Itu kata yang pertama
kali keluar dari mulut gue ketika mengetahui berita ini dari dunia maya. Lalu
beranjak, ke kisah cinta perempuan ini. Gue menemukan fakta dia baru saja putus
dengan kekasihnya. Hubunga nyang mereka jalani selama 2 tahun kandas, entah gue
enggak tahu sebabnya apa. Tapi yang menarik adalah ketika menjalin kasih dengan
pria ini dia pernah mengeluarkan statemen begini:
“I’m not a celibate nor do I have
any illusions or fears regarding marriage. I plan marry when I really want to but
it’s not something I feel strongly about yet.”
Nah, kalau dia hidup di sebuah
keluarga konvensional, gue yakin orang-orang akan melontarkan pertanyaan, “mau
tunggu apa lagi? Usiamu sudah cukup tua.” Yah ini dia. Oke, lalu tiba-tiba gue
teringat dengan percakapan dari film India yang mengisahkan tentang seorang
janda yang belum move on dari mantan suaminya yang meninggaal, seluruh keluarga
besarnya mendesaknya untuk melanjutkan hidupnya, maksudnya dengan mencari
kencan, yah udah 5 tahun juga sih suaminya meninggal. Tapi dialog yang ngena
buat gue, dia melontarkan kalimat ini ketika dia mabuk, “Kenapa semua orang
begitu pusing ketika ada seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah?”
Menurut gue, keadaan masyarakat
kita (Indonesia maksudnya) memang begitu guyub, apalagi menurut gue hampir
kekerabatan di Asia memang guyub. Tetapi, itu menjadi masalah ketika arus laju
pemikiran terus berkembang. Keguyuban ini mengikat individu untuk bertindak
dalam kurungan norma hingga menampilkan keterkekangan, jika memang individu ini
telah menerima nilai lain selain nilai yang ia dapatkan dari masyarakat tempat
ia tinggal. Terkadang ini menjadi semacam ketakutan bagi keluarga yang
mendapati anaknya, saudaranya yang berusaha keluar dari nilai yang ditanamkan
oleh keluarganya. Tapi bagi gue, fenomena untuk tidak menikah atau menikah di
usia tua bukanlah sebuah perkara besar. Terkadang perubahan itu ada bukan untuk
menghancurkan sebuah nilai, perubahan itu ada karena kehidupan itu dinamis.
Istilah konvensional ataupun modern bagi gue itu hanya semacam ketakutan akan
miripnya nilai yang ada. Oke, tidak ada yang murni dan bebas dalam hidup ini.
Determinisme kalau dalam ranah filsafat nyebutnya. Yah, segalanya itu sudah
ditentukan, karena bagaimanapun kita bertindak, pada akhirnya segala keputusan
dan tindakan yang kita lakukan adalah berujung pada nilai yang sudah ada.
Menikah atau tidak menikah adalah
pilihan dan segala pilihan akan selalu menuntut tanggung jawab. Dan menurut
gue, pilihlah pilihan yang menjadi kehendak hati dan semesta yang kita pahami,
jangan membelenggukan diri dalam pandangan bagaimana seharusnya kita bersikap
dan menentukan masa depan kehidupan kita. Anda dan saya adalah perempuan yang
selalu memiliki pilihan, kitalah yang memilih bukan mereka atau siapapun.
Salve.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar