Jumat, 26 Oktober 2012

Aku dan perempuan



Suatu ketika gue terjatuh dalam manisnya drama korea. Sebuah kisah sederhana namun meninggalkan bekas akan sebuah fenomena. Sang tokoh utama adalah perempuan yang bekerja sebagai kepala penyunting untuk majalah fashion terkenal di korea. Gue enggak pernah tahu kehidupan seorang kepala penyunting seberapa kerasnya. Namun, fenomena menarik yang hendak gue sorot adalah jiwa kemandirian yang dimiliki perempuan tersebut. Dalam drama korea tersebut ia berusaha 37 tahun, perempuan karir yang sukses, pandai, dan belum menikah. Kecintaannya yang besar terhadap dunia fashion membuatnya melupakan segala hal yang sudah seyogyanya dimiliki oleh perempuan seusianya, yah menikah, memiliki suami, anak dan keluarga kecil yang bahagia. Namun, dia meninggalkan semua ambisi layaknya perempuan biasa. Entah ini bukan tentang dirinya yang memiliki semangat kerja dieksploitasi determinisme kehidupan, namun bagia gue justru itu adalah fenomena menarik yang sebenarnya popular di barat, tetapi tidak di Asia. 

Oke, move on dari kisah filmnya, gue beranjak mencari tahu kisah kehidupan pribadi perempuan ini, Karena bagi gue dia mampu memerankan peran ini begitu apik. Setelah mencari sana sini di dunia maya, perempuan ini bernama Kim Hye Soo dan ternyata gue menemukan sebuah fakta yang lebih mengejutkan. Dia kini berusia 42 tahun, dia hobi melukis, aktris terkenal, dan menurut gue cukup terpelajar, dia mengeyam dua kali pendidikan di Dongkuk University dan Sung Kyun Kwan University.  Nah, jika dihitung secara finansial, mari kita lihat ukuran wealth bagi Korea. Korean Employment Information Service (KIES) menentukan “gold miss” sebagai perempuan di antara usia 30-45 dengan pendapat setidaknya 40 juta won atau kurang lebih $38, 700. Sedangkan “platinum miss” perempuan di antara 30-45 dengan pendapatan kurang lebih 80 juta won atau setara dengan $68, 160. Nah, dengan kepopuleran yang dimilliki oleh aktris perempuan ini selain sebagai aktris, diperkirakan pendapatannya bisa melebihi “gold miss” dan “platinum miss” per tahun.
Menarik. Itu kata yang pertama kali keluar dari mulut gue ketika mengetahui berita ini dari dunia maya. Lalu beranjak, ke kisah cinta perempuan ini. Gue menemukan fakta dia baru saja putus dengan kekasihnya. Hubunga nyang mereka jalani selama 2 tahun kandas, entah gue enggak tahu sebabnya apa. Tapi yang menarik adalah ketika menjalin kasih dengan pria ini dia pernah mengeluarkan statemen begini:

“I’m not a celibate nor do I have any illusions or fears regarding marriage. I plan marry when I really want to but it’s not something I feel strongly about yet.” 

Nah, kalau dia hidup di sebuah keluarga konvensional, gue yakin orang-orang akan melontarkan pertanyaan, “mau tunggu apa lagi? Usiamu sudah cukup tua. Yah ini dia. Oke, lalu tiba-tiba gue teringat dengan percakapan dari film India yang mengisahkan tentang seorang janda yang belum move on dari mantan suaminya yang meninggaal, seluruh keluarga besarnya mendesaknya untuk melanjutkan hidupnya, maksudnya dengan mencari kencan, yah udah 5 tahun juga sih suaminya meninggal. Tapi dialog yang ngena buat gue, dia melontarkan kalimat ini ketika dia mabuk, “Kenapa semua orang begitu pusing ketika ada seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah?” 

Menurut gue, keadaan masyarakat kita (Indonesia maksudnya) memang begitu guyub, apalagi menurut gue hampir kekerabatan di Asia memang guyub. Tetapi, itu menjadi masalah ketika arus laju pemikiran terus berkembang. Keguyuban ini mengikat individu untuk bertindak dalam kurungan norma hingga menampilkan keterkekangan, jika memang individu ini telah menerima nilai lain selain nilai yang ia dapatkan dari masyarakat tempat ia tinggal. Terkadang ini menjadi semacam ketakutan bagi keluarga yang mendapati anaknya, saudaranya yang berusaha keluar dari nilai yang ditanamkan oleh keluarganya. Tapi bagi gue, fenomena untuk tidak menikah atau menikah di usia tua bukanlah sebuah perkara besar. Terkadang perubahan itu ada bukan untuk menghancurkan sebuah nilai, perubahan itu ada karena kehidupan itu dinamis. Istilah konvensional ataupun modern bagi gue itu hanya semacam ketakutan akan miripnya nilai yang ada. Oke, tidak ada yang murni dan bebas dalam hidup ini. Determinisme kalau dalam ranah filsafat nyebutnya. Yah, segalanya itu sudah ditentukan, karena bagaimanapun kita bertindak, pada akhirnya segala keputusan dan tindakan yang kita lakukan adalah berujung pada nilai yang sudah ada. 

Menikah atau tidak menikah adalah pilihan dan segala pilihan akan selalu menuntut tanggung jawab. Dan menurut gue, pilihlah pilihan yang menjadi kehendak hati dan semesta yang kita pahami, jangan membelenggukan diri dalam pandangan bagaimana seharusnya kita bersikap dan menentukan masa depan kehidupan kita. Anda dan saya adalah perempuan yang selalu memiliki pilihan, kitalah yang memilih bukan mereka atau siapapun. Salve. 

Tidak ada komentar: