Semuanya sudah tertahan di dada, terasa begitu menyesakkan. Sulit untuk mengeluarkannya, bahkan di depan teman yang sering ia ajak bicara. Semuanya terasa begitu sukar. Akhirnya ia mulai menuturkan kegundahannya, kegudahan yang menyesakkan dadanya. Rasa sesak yang ia rasakan semenjak siang tadi hingga malam ini. Rasa sesak yang ia palsukan dengan canda tawa dan guarauan bersama teman lainnya. Ia beranggapan mungkin saja rasa sesak ini akan hilang jika ia mau tertawa dan bergarau, tetapi nyatanya tidak. Rasa sesak itu malah semakin menyesakkan, begitu menyesakkan hingga sebenarnya ia tidak mau lagi berkata-kata mengapa dadanya begitu menyesakkan. Tapi rapat malam ini belum juga selesai, rapat malam ini masih membutuhkan ia untuk hadir dan memberikan argumen serta dukungannya untuk menunjukkan rasa cintanya terhadap negeri ini. Maka ia tetap berada disana dengan pikiran dan hati yang terbelah-belah. Tapi apalah yang bisa ia lakukan sebenarnya, ia cinta berada disana, berada di lingkaran teman-temannya. Ia cinta menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang mungkin sebagian orang katakan adalah tindakan yang tiada berguna. Baginya ini adalah wujud idealismenya yang selama ini ia wacanakan. ia tidak ingin menjadi orang yang ahli berteoritis tapi lemah dalam dunia pragmatik.
Akhirnya rapat itu selesai juga, ia menarik napas begitu dalam berusaha merasakan apakah rasa sesak ini masih terasa ataukah telah hilang karena fokusnya selama beberapa jam teralihkan dari rasa sesak ini. Namun ternyata, ketika ia mencoba menarik napas lebih dalam lagi, ia tahu bahwa rongga di hatinya telah tertutupi dengan rasa sesak ini. Kini ia memejamkan matanya, air matanya berlinang namun tak sampai melewati pelupuk matanya. Ia sadar bukan di tempat ini ia harus menangis, bukan berarti teman-temannya tidak akan perduli. Justru ia takut teman-temannya akan begitu perduli kepadanya. Maka ia berusaha menjaga sikapnya saat ini. Ia langsung berpamitan kepada teman-temannya, tidak seperti biasanya memang ia begitu ingin cepat-cepat meninggalkan teman-temannya. Ia memberikan banyak alasan agar ia segera bisa pergi dari sana, ia hanya tidak ingin mereka tahu apa yang sedang terjadi dengannya. Ia ingin merncurahkan rasa sesaknya ini kepada seorang temannya saja. Seorang teman yang tahu bagaimana menjadi pendengar yang baik. Seorang teman yang tahu bagaimana harusnya bersikap menghadapi orang yang introvert seperti dia.
Berkali-kali ia melirik jam tangan, waktu sudah hampir menunjukkan pukul 9 malam. Ia tahu terlalu malam jika ia harus mampir ke kosan temannya ini. Tapi ia merasa ia tidak sanggup lagi menahan desakan rasa sesaknya ini. Akhirnya ia mengeluarkan handphonenya mengetik beberapa kata kemudian memandang ke depan dengan hampa. tidak lama kemudian handphone-nya berbunyi. Ia mengalihkan pandangan hampanya ke handphonenya dan kemudian ia tersenyum. ia merasa lega, walau sebenarnya tetap saja ia merasa tidak enak.
Kini ia berdiri di gerbang kosan temannya, ia merenung lama hingga akhirnya ia mengirimkan pesan singkatnya lagi. Tidak lama kemudian temannya datang dengan wajah yang sayu. Ah, ia semakin merasa tidak enak. Tapi ia seperti bingung membedakan rasa tidak enaknya ini dengan rasa sesaknya. Sebenarnya ia ingin menolak untuk masuk ke dalam kosan temannya, karena perasaan tidak enaknya ini, tetapi entah mengapa kakinya terus melangkah mengikuti temannya. Seakan-akan apa yang ia pikirkan bertentangan dengan apa yang ia lakukan, ia terus melangkah hingga sampai di kamar kosan temannya. Ia terdiam, bingung tapi masih merasa sesak. Ingin rasanya ia keluar dari kosannya temannya itu dan pulang ke kosannya saja, menangis saja seorang diri di kamarnya, mengutuki orang-orang yang pernah membuatnya merasa tersiksa hidup sebagai manusia. Tapi kakinya tidak mau melangkah keluar. Malahan mulutnya mulai berbicara, membuka percakapan. Semuanya seperti menolak perintah yang telah dikeluarkan oleh otaknya untuk keluar pergi meninggalkan kosan temannya itu. Tapi mulutnya terus saja berbicara, mengkhianati pikiran dan kepercayaan yang telah ia bangun untuk menjadi seorang penyendiri saja. Ah, dasar mulut ini tidak bisa komitmen terhadap pikiran!
Pengkhianatan yang dilakukan sang mulut terus bergulir. kadang nadanya berubah menjadi serius, kadang tertawa entah maunya apa mulut ini. Pikiran menjadi kacau karena telah dikhianati, kesal tapi tidak bisa bertindak apa-apa. Tapi pikiran merasa bersyukur karena air mata yang sempat membasahi pelupuk matanya ketika rapat tadi tidak sedikitpun menetes di depan temannya. Pikiran merasa bahagia setidaknya masih ada yang setia padanya. Namun tetap saja, ingin rasanya pikiran memukul mulut, tapi ia sadar bahwa melalui mulutlah sang pikiran mampu mengutarakan pendapat. Ah, sudahlah kini pikiran telah capai mempengaruhi mulut. Biarkan saja ia berkata-kata. Ia tak mau ambil pusing.
Tidak demikian dengan pikiran, hati merasa begitu senang, senang luar biasa, karena rasa sesak yang selama berjam-jam menyesaki ruangannya kini satu persatu telah lepas dengan bantuan mulut. Hati berkata, yah tindakan kamu benar mulut jangan dengarkan pikiran lagi, pikiran terlalu egois dan sombong dengan membiarkanku terbelenggu dengan rasa sesak ini. Padahal ia-lah yang telah membuat ruanganku penuh dengan harapan kosong, kebimbangan dan kepalsuan. Lepaskan saja semuanya jangan ada lagi yang disembunyikan, kamu itu enggak bisa hidup sendiri, kamu itu butuh teman yang akan mendengarkan kegundahnmu. Jangan disimpan-simpan lagi, aku capek!
Kini ia menarik napas lagi, entah untuk keberapa kalinya ia menarik nafas ketika berbicara dengan temannya. Kemudian ia memejamkan mata, rasa pedih menjalar di relung hatinya. Ia merasakan matanya memanas, ia tahu kini pelupuknya mulai basah. Tapi ia sadar ia tak mau nangis di depan temannya ini. Ia tahu, jika ia menangis maka ia tak akan mampu berbicara. Ia akan terus menangis dan menangis. Dan ia juga tahu, ketika ia menangis rasa sesaknya itu akan terasa semakin menyakitkan, sakit begitu sakit. Maka ia menarik nafas lagi, memejamkan matanya berharap tidak akan turun air mata melewati pelupuk matanya. Dan ia berhasil! yah, ia memang selalu berhasil menyembunyikan air matanya di depan siapapun, bahkan di depan ibunya sendiri. Ia lebih suka pergi ke sudut kehidupan, mencari kegelapan untuk menangis. Ia takut terang ketika menangis. Ia tidak ingin melihat wajahnya yang menangis. Ia tidak ingin ada yang tahu bagaimana caranya ia menangis. Cukup hanya ia yang tahu, cukup hanya ia. Jangan ada orang lain yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar