Sabtu, 27 Oktober 2012

Egomu di Gunung Gede

Setelah mungkin selama setahun gue menyimpan kenangan yang boleh dikatakan bukan kenangan baik dari naik gunung gue pertama kali. Seinget gue, gue naik gunung tepat di awal bulan Juli 2011. Gue sedang tidak dalam kondisi terbaik dari diri gue, yah, gue baru aja sembuh dari sakit thypus. Seminggu sakit thypus gue memutuskan untuk turut serta dengan temen-temen gue yang notabenenya hampir sebagian besar juga belom pernah naik gunung. Awalnya ketika penyakit thypus itu mendera gue memutuskan untuk mengundurkan diri gue buat naik gunung, oh iya, gunungnya gunung Gede. Selama sakit gue ngebayang-bayangin terus gimana rasanya naik gunung. Naik gunung semacam hasrat terpendam gue yang belum pernah gue lakukan.

Beruntungnya, sehari sebelum jadwal keberangkatan naik gunung gue sembuh. Gue seneng banget. Ah, gue pikir gue bisalah naek gunung. Ambisi! Gue inget hari Kamis gue ke kampus, ketemu temen gue yang bakal jadi leader dalam pendakian itu, gue ragu buat bilang ikut karena gue udah membatalkan untuk ikut, tapi dengan entah dorongan tekad dari mana padahal kondisi kesehatan juga baru pulih gue bilang ke temen gue kalau gue mau naek gunung. Temen gue ragu menerima gue, tapi gue ngeyakinin dia buat ngijinin gue ikut. Dan salah satu temen gue yang sering naek gunung juga ngomong begini, "Abang gue sebelum naik gunung sakit, tapi di gunung dia malah sembuh." Nah, siapa coba yang enggak kegoda kalau dibujuk kaya begitu.

Ini tim lengkap sama yang motoin, siap-siap jalan sore hari dari kosan temen gue
Oke, jadilah gue naek gunung hari jumat berangkat dari Depok menuju ke kawasan puncak Bogor, tepatnya menuju gunung Putri tempat pendakian awal. Sampai di sana malam, suasana gelap hawa dingin menusuk hingga ke dalam tulang, gue ngerasa ada hal yang bakalan enggak beres di atas. Tapi gue udah kepalang tanggung, udah di depan mata ambisi pendakian gue, kenapa gue harus mundur. Oke, selesai mengisi amunisi (makan malam) kita segera menuju pos ijin pendakian. Setelah itu, petualangan malam dimulai. Gembira, girang entah gue enggak punya ekspresi yang bagus buat ngegambarinnya.
Tim siap berangkat selesai isi amunisi (makan malam)

Terus dan terus berjalan menuju ke atas, melewati rumput-rumput dan pohon-pohon. Awal perjalanan, masih terlihat rumah-rumah warga di kejauhan, seakan-akan harapan cahaya berusaha menembus kegelapan pekat hutan yang akan gue lewati nanti. Temen gue yang memposisikan dirinya sebagai leader dalam pendakian ini berusaha menghibur kita, para newbie pendaki gunung. Awalnya gue sungguh menikmati setiap tanjakan kaki dan semangat kegembiraan gue mendaki gunung. Perjalanan terus dilakukan, entah berapa lama, enggak sempet lihat jam, gue juga lupa mulai daki jam berapa. Gue hanya fokus melewati setiap titian jalan.

Selangkah demi selangkah suara gemerisik kaki menginjak kaki dan suara-suara malam mengisi harmoni malam itu. Gue enggak akan lupa momen itu, karena gue suka. Lalu pendakian terus melaju, menuju tingginya tanah yang harus didaki, angin malam kembali menusuk-nusuk diri gue. Gue mulai merasakan hal aneh, entah apalah itu, gue hanya ngerasa fokus gue terbagi ke kondisi tubuh gue yang tiba-tiba sepertinya memberontak atas kehendak otak gue yang nyuruh buat terus jalan. Gue diam aja, mengabaikan bisikan badan. Terus leader pendakian itu menghentikan rombongan, kita beristirahat.

Selama istirahat, gue terdiam, mendengar angin malam, merasakan aroma tanah, menatap langit malam yang bersih. Seolah-olah jagad raya tengah mengamati kita yang terduduk dalam lelah dari rangkaian liku perjalanan. Gue menikmati momen itu, ah yah, gue memang suka melamun apalagi momennya mendukung seperti itu.

Lalu pendakian terus dilanjutkan, entah berapa langkah yang telah gue berikan untuk mendaki kembali dan entah kenapa angin seperti berusaha menyatu dengan tubuh gue yang mulai terasa ringkih. Gue mengabaikannya, gue enggak mau menjadi beban bagi temen-temen gue, lagijuga gue terbiasa menghadapi hal tersebut. Entah sampai di mana, dengan sudah berapa kali berhenti gue mulai merasakan sesuatu bersarang di tengah dada gue. Entahlah, gue enggak ngerti, anginkah itu? atau apa? Injakan kaki mulai terasa berat, tiba- tiba otak gue meminta raga gue buat berhenti, "lo harus berhenti!". Damn, lalu gue minta ke kawanan buat berhenti, dan di sanalah petualangan sesungguhnya baru dimulai.

Gue menyandarkan diri gue di atas batang entah akar mungkin yang tersembul keluar dari tanah. Gue merasakan sensasi pertarungan di dalam diri gue. Pusing, mual, badan gue berat, keringat bercucuran, tapi tangan gue dingin. Ah damn! gue bener-bener mengutuk diri gue saat itu. Lalu gue minta tolak angin (bukan ngiklan), gue pikir bisa jadi gue masuk angin (padahal udah makan malam sebelum naik). Kondisi tubuh boleh dibilang lebih baik. Kita melanjutkan perjalanan, awalnya semangat gue kembali tinggi, hayoklah terus melaju hidup cuma sekali, itu yang ada di benak gue.

Tapi, yah lagi-lagi serangan gumpalan seperti menghantam dada gue, entah dari mana asalnya tiba-tiba seakan-akan bersarang di dada gue. Gue nyesek, gue sempet mikir gilak masa gue sakit di sini. Lalu gue meminta temen-temen gue buat berhenti lagi. Yah, gue enggak enak sebenarnya, tapi tubuh gue emang udah enggak ada gunanya buat diajak nanjak. Dari situ gue yakin, temen-temen gue mulai sadar ada yang salah dengan gue. Oh iya, gue lupa posisinya gue udah ngelewatin pos 1 atau belum, ah gue mana sempet mikirin hal itu, pertarungan gumpalan di dada gue lebih menyita pikiran gue.

Oke, gue lupa berapa kali gue minta perjalanan dihentikan untuk istirahat. Gue sadar leader pendakian ini udah kesel sama gue, yah tapi mau gimana, kalau gue bisa jalan tanpa tubuh ini gue bakal lanjut tanpa minta banyak istirahat. Gue sadar banget emang udah mulai ngebebanin yang lain, wajar kalau leader gue agak kesel. Sampai akhirnya, kita tiba di suatu tempat, entahlah yang jelas masih di dalam hutan, kita memutuskan untuk berkemah, padahal harusnya kita berkemah di Surya Kencana sekalian paginya bisa lihat sunrise. Ah, gagal. Ya sudahlah, gue makin enggak enak sama temen gue.

Oke, lalu kita bangun tenda, setelah bangun tenda, gue muntah. Yah gue muntah. Meenn, gue enggak bohong itu muntah bukan muntah yang biasa, seakan-akan gue mengeluarkan sesuatu yang besar di dalam diri gue, yah mungkin gumpalan yang sedari tadi gue rasakan itu kali. Ah, temen-temen pendakian gue masih sering ngecengin gue, katanya gue muntah kayak ngeluarin semua isi perut gue. Hahahahaha, gue ketawa aja, gue aja enggak tahu ngeluarin apaan, yang gue tahu gue cuma muntah air. Udah. Aneh sih. Tauk dah. Gue lemes abis muntah, lalu temen gue ngerokin badan gue di tenda, yah mungkin gue masuk angin.

Abis muntah dan dikerokin oke, kondisi tubuh gue kembali segar, itu sih yang gue rasa. Malam itu, akhirnya kita istirahat di tenda, dingin men, badan gue menggigil, sumpah padahal gue juga sering ngecamp, bahkan dengan kondisi yang lebih dingin dari itu, tapi emang dasar badan lagi sakit, jadi sensitif banget.
Ini tendanya lagi dibangun
Pagi hadir, gue terbangun, lemas sekujur badan, ah gue kesel, yah pastilah perjalanan masih jauh. Keluar tenda gue ngeliat temen-temen gue yang lain, ada yang lagi masak ada yang lagi moto-moto. Ah seneng ngeliat mereka, hahahaha aneh. Terbangun di pagi hari di tengah hutan itu rasanya sepertinya lo adalah makhluk liar yang terbangun dan tersadarkan bahwa hidup itu keras (abaikan). Oke, setelah mengisi perut seadanya kita bersiap-siap untuk melaju lagi. Gue harus kuat! Tanam itu di otak.

Melangkah lagi, menuju puncak, menuju harapan, menggapai sinar matahari yang seolah-olah semakin mendekat dengan kepala. Gue bersemangat. Beberapa kali langkahan, gue masih merasa baik-baik saja. yah, walau kadang gue masih minta buat istirahat. Emang dasar tubuh gue lagi enggak sehat. Lalu, yah sesak di dada terjadi lagi. Damn lah pokoknya. Gue sampe dikasih oksigen tambahan dari tabung oksigen berbentuk kaleng yang dibawa temen gue. Seolah-olah gue punya asma. Lumayan membantu juga itu tabung, perjalanan dilanjutkan. Tapi lama kelamaan gue mulai merasakan kepayahan tubuh gue semakin meningkat, yah emang dasar lagi sakit ini tubuh, cuma semangat doang yang enggak sakit.

Hingga akhirnya dalam beberapa kesempatan gue secara bergantian berjalan berdampingan dengan temen gue, yah gue takut kalau gue ambruk tanpa sadar, tapi enggak terjadi sih. Oke, terus melangkah dalam kondisi tubuh yang sudah payah, langkah pun terasa melayang bukan semakin cepat tapi justru semakin lambat. Tapi terus jalan, temen-temen gue kasih semangat, gue semangat, tapi gue enggak bilang apa-apa. Meen, gue sebenernya pengen bilang, semangat gue enggak sakit, yang sakit tubuh gue.

Istirahat dulu
Istirahat lagi
Gue inget, ini dada gue lagi nyesek!
Oke, hingga akhirnya sampailah di Surya Kencana dengan penuh peluh yang tidak jatuh karena dingin dan seluruh kepayahan yang rasanya gue pengen jatuhkan di Surya Kencana. Indah men Surya Kencana itu, Hamparan rumput dengan diselingi pohon edelweiss. Indah. Gue langsung merebahkan tubuh gue di atas rumput. Menghirup udara sebanyak-banyaknya menikmati tamparan angin yang mengoyak-ngoyak jilbab gue. Gue menikmatinya. Rasanya rasa lelah merembas ke dalam tanah, rasanya gue pengen bangun rumah di sana. Hahahahahaha.

Narsis di Surya Kencana
Surya Kencana dan keindahannya
Si cantik Edelweiss dari dekat

Tapi, perjalanan masih panjang, kita belum sampai puncak dan itu sudah sabtu siang. Kita memutuskan untuk membangun tenda di Surya Kencana. Nah, sebelum bikin tenda buat istirahat kita harus jalan dulu, nyari tempat yang enak buat bangun tenda. Sepanjang perjalan itu, gue melawan arus angin kencang. Gue terus melaju meski kadang tumbang dengan beristirahat di atas rumput. Lalu berjalan lagi. Sampailah tempat di mana temen gue akan membangun tenda. Sampai di sana gue langsung muntah lagi, ah dasar tubuh sakit susah memang buat di ajak kerja berat. Gue sedih. Yah, bakalan istirahat agak lama ini mah.

Perjalanan di Surya Kencana mencari tempat buat bikin tenda

Di tenda gue istirahat, temen gue berinisiatif buat masak bubur. Karena kita enggak bawa beras, jadilah minta ke orang-orang yang juga lagi bangun tenda di sekitar Surya Kencana. Mereka masakin bubur buat gue. Terharu, yah mungkin gue emang masuk angin karena enggak makan nasi sejak pagi. Makanya badan gue ngedrop lagi (dasar tubuhnya orang Indonesia).

Gue makan bubur, dipijitin, istirahat di dalam tenda. Oke, lebih baik sebenarnya. Lalu matahari semakin ke barat, itu udah sekitar ashar kayaknya. Leader memutuskan untuk segera merapihkan tenda dan meneruskan perjalanan. Jujur gue juga pengen, tapi gue enggak ngerti ini tubuh manja banget, sumpah. Tapi gue juga enggak enak sama temen-temen gue terlebih sama leader, yah, gue tahu dia juga nanggung temen-temen gue yang lain. Takut yang lain juga kenapa-kenapa kalau perjalanan enggak segera dilanjutkan.

Akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan kondisi yang kurang lebih gue ngerasa tubuh gue bukan lagi milik gue. Gue dipapah menuju puncak, berasa manula. Perjalanan terus dilanjutkan hingga menuju hutan rapat, pendakian semakin tinggi, gue udah enggak tahu lagi rasanya kayak apa. Lalu perlahan matahari mulai bersembunyi, bulan menampakkan diri, gelap menemani. Gue sempet mikir, gilak masa gue mati di sini! Otak gue enggak bisa berfikir secara sehat. Kaki terus melaju mendaki sambil dipapah di antara bebatuan dan pohon-pohon yang serasa berusaha menghalangi langkah kaki.

Tapi perjalanan harus lanjut! Hingga akhirnya, puncak itu diraih. Gua langsung jatuh di atas puncak gunung Gede, rasanya ini yang sedari tadi mau gue raih sampai gue serasa pengen sujud bahkan guling-guling kalau puncak gunung Gede seluas Surya Kencana. Hampir sebagian besar dari rombongan ikut berbaring. Gue ngeliat hamparan langit seperti hamparan karpet hitam yang dipenuhi dengan hiasan. Indah! Sungguh Indah di ketinggian seperti itu!

Tapi kebahagiaan itu harus segera berakhir, masih ada perjalanan turun menuju Kandang Badak dan Cibodas (tujuan akhir). Turun dari puncak gunung Gede, kita melewati titian yang dibatasi dengan tali besar yang membatasi antara harapan dan kematian (lebay). Pijakan kaki tidak lagi berwarna hitam tanah, tapi berwarna putih seperti kapur tapi keras. Gue semangat banget turun dari sana. Etdah entah kekuatan dari mana yang gue punya ketika turun. Seolah-olah gue udah sembuh dari sakit. Gue bisa jalan dengan benar. Otak gue seolah-olah udah kembali ke tempat asalnya. Dan gue enggak dipapah (penting).

Lalu kita melaju dalam gelapnya malam, mendekap harapan bahwa sesegera mungkin akan sampai di Kandang Badak. Gue enggak mikir apa-apa, selain gue pengen segera turun dengan cepat. Kita semua fokus untuk turun dan sepertinya cuma kita rombongan yang ada di sana. Sepi banget. Tauk deh, kata temen gue setelah seusai pendakian dia cerita kalau dia ngeliat 'something' di sana. Ah, peduli amat gue sama begituan pas di sana, meski gue agak merinding sih, yah tapi jiwa survive lebih tinggi ketimbang mikirin begituan.

Hingga akhirnya sampailah kita di Kandang Badak. Seneng. Perjalanan sudah semakin mengasyikkan. Di Kandang Badak, kita makan bekal yang ada, gue makan bubur sisa yang dibuat temen gue di Surya Kencana. Salahnya adalah, itu bubur udah dingin tapi karena gue laper gue makan aja. Enggak lama kemudian gue muntah lagi. Damn. Saat itu, kesadaran gue enggak penuh, saat itu gue sendiri enggak tahu ada di mana. Gelap, itu yang gue lihat. Gue enggak denger suara temen gue. Gue enggak pingsan, tapi entahlah. Rasa sesaat itu rasanya gue ada di sebuah tempat gelap sendirian enggak liat apa-apa tapi gue ngerasa kalo gue ada di sana.

Tapi beberapa saat kemudian, gue mendengar suara temen gue yang berusaha memijit gue dan berkata ke gue. Entahlah dia ngomong apa. Gue enggak denger jelas. Lalu yang gue inget gue udah ada di dalam tenda, ganti pakaian, menghangatkan tubuh gue dengan sleeping bag dan gue tertidur. Entah tidur berapa lama, gue bangun dalam keadaan gelap, gue melihat temen-temen gue tertidur. Dingin banget sumpah. Lalu temen gue ada juga yang bangun. Ternyata udah subuh. Matahari kembali nongol, seolah-olah dia mau menghangatkan gue yang udah ringkih enggak guna.

Pagi, temen-temen gue pada masak, siap ini siap itu. Artinya itu minggu pagi dan kita harus segera melanjutkan perjalanan. Kondisi tubuh gue, lebih baik dari sebelumnya, entah suntikan kesembuhan dari mana hadir di diri gue. Selesai rapih-rapih kita melanjutkan perjalanan. Gue merasa lebih baik, sehat ah, seneng pokoknya. Entah berapa lama perjalanan terus dilakukan, kaki gue ringan banget melangkah, tubuh seakan terbang, jiwa seolah-olah melayang. Home! itu pikiran gue.

Dan akhirnya kita sampai di Cibodas sekitar siang hari. Gilak gue seneng, bahagia mau jungkir balik apapun lah. Hahahahaha. Gilak perjalanan yang bagi gue rasanya gue bakal mati di gunung Gede ternyata gue sampai selamat di Cibodas dengan riang dan ringan. Gilak, gue enggak tahu kalau enggak ada temen-temen gue apa jadinya gue.

Perjalanan turun justru lebih mudah ketimbang menanjak buat gue, entah mungkin karena tubuh gue yang lagi enggak sehat atau emang gue emang paling bisa pas turun ke bawah ketimbang mendaki entahlah. Sejujurnya gue masih menyimpan trauma (iyalah) gue enggak tahu kapan bisa mendaki gunung lagi, tapi gue masih punya keinginan. Dan pendakian yang nanti gue harus sehat. Bagi gue, mendaki gunung itu boleh dibilang membanggakan, yah bersusah-susah mengalahkan ego tapi satu hal yang gue pelajari bukan ego semata yang dikalahkan tapi juga rasa memiliki di antara rombongan.

Tapi, pendakian gunung itu hanyalah hal kecil dari perjalanan hidup yang lebih banyak membutuhkan banyak ego, kadang pendaki gunung ada juga yang egonya lebih besar dari bukan pendaki gunung. Ada yang mendaki gunung justru semakin membuat dirinya merasa besar karena mampu dan mengucilkan (mungkin tanpa dia sadari) orang-orang yang belum pernah mendaki gunung. Nah, intinya memang ada di diri kita masing-masing. Kelebihan yang kita miliki di atas orang lain bukan dimaksudkan semesta agar kita dapat berbangga diri, justru kita harus berpikir bahwa semesta mendukung diri kita untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginan kita. Jika kita berbangga diri, siapa kita? tanpa keseluruhan molekul dan partikel yang selalu menemani kita, kita adalah nothing.

Jadi bersyukur sajalah dengan apa yang telah ada di diri kita, berbangga hanya menunjukkan bahwa kita tidak pantas berada di semesta ini (ini macem mario teguh yah, abaikan). Eh udah sharingnya, gue sok-sokan paham aja, hahahahah. By the way, yang mau mendaki gunung pesan gue, siapin segalanya-galanya. Karena di sana bukan untuk sekedar lo jalan doang, ada banyak hal tidak terduga ketika lo naik gunung.

Foto terakhir, salam cinta dari Cibodas.. :D

Salam,
 nb: foto-foto di atas adalah koleksi pribadi temen gue yang emang jago foto, gue cuma ditag-in, by the way ini foto koleksinya itop, Thanks to Itop atas foto-fotonya dan buat Chandra, Erik, Yazid, Acen, Riani, Fahsha, Angi dan Karin, lope you all dah, kompak akhirnya kita selamat sampai Cibodas.. :D




2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ngebayangin nanjak ke gunung gede pasti ngos2an abis. Kmrn ke curug nya aja yg cuman 2,6 km, kaki rasa nya gemetaran hehehe

faiqoh mengatakan...

Thanks sudah berkunjung, btw,sekali-dua kali naik gunung patut dicoba. Tapi harus dalam kondisi prima.. :D