Kamis, 10 Mei 2012

Renungkan sejenak

Renungkan sejenak arti hadirmu disini
Jangan pernah ingkari dirimu adalah wanita
Harusnya dirimu menjadi perhiasan sangkar maduku
Walaupun kadang diriku bertekuk lutut di depanmu

Lamunan Anggi tiba-tiba terusik setelah mendengar sepenggal lagu yang dibawakan oleh pengamen di bis kota. Anggi mengerutkan wajahnya, bukan, bukan karena pengamen tersebut salah menyanyikan syair lagu tersebut, bukan pula karena ini lagu baru yang belum pernah Anggi dengar, bukan pula lagu ini memiliki kenangan buruk untuk Anggi. Hanya saja Anggi tiba-tiba merasa loh kok ini lagu syairnya seperti ini? Loh kok gue baru nyadar? Loh kok perasaan dulu syairnya enggak begini? Apa gue aja selama ini enggak sadar sama ini syair. Jangan-jangan selama ini gue hanya kayak beo yang nyanyiin ini lagu dulu waktu gue masa-masa SMP. Ini syair lagu enggak enak banget didengarnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tiba-tiba memenuhi ruang pikiran Anggi. Ia merasa menjadi sok begitu intelektual setelah memahami peran pentingnya perempuan di dalam kehidupan. Entah sok intelektual atau keintelektualannya bertambah setelah diskusi yang tanpa sengaja terjadi antara dia dengan seorang teman yang sudah lama tidak bertemu. Jadi selama ini sebenarnya sistem yang sudah mapan ini hanyalah didominasi oleh pria-pria tersebut? Jadi selama ini para pria menganggap merekalah penggerak sejarah? Jadi selama ini para pria berfikir bahwa perempuan hanyalah hiasan dan pelengkap untuk mereka? Hoalah.... asu! Pikiran-pikiran yang seperti baru bangkit setelah diskusi yang dilakukan antara Anggi dengan teman lamanya menimbulkan banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Anggi. 

Pertemuan yang tidak disangka-sangka itu membuat Anggi hanya terpengarah dengan ucapan teman lamanya tersebut. banyak hal yang membuatnya terpengarah, salah satunya adalah banyak perubahan yang terjadi dengan temannya ini mulai dari penampilannya hingga pemikirannya. Ia tidak menyangka temannya akan berubah sedrastis ini. 

“apa tujuan hidupmu?” pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Via kepada Anggi setelah mereka cipika-cipiki dan menanyakan kabar.

“aku?” Anggi tampak bingung untuk menjawab. Tapi ia memasakkan dirinya untuk menjawab. “layaknya manusia ketika ia sudah kuliah dan lulus, lalu ia akan mendapatkan pekerjaan, memiliki uang, menikah, memiliki anak dan selesai”.

“maksud dari selesai?”
“yah, kehidupan selesai”.
“berarti kamu hanya mengikuti arus, kamu belum memiliki tujuan hidup”.

Anggi merasakan lidahnya kelu, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Yang keluar hanya “yah mungkin, mungkin iya”, “aku hanya terkadang bingung harus berbuat apa, aku tidak tahu seakan-akan aku tidak memiliki kekuatan akan diriku sendiri, akan kegilaan-kegilaan yang kupikirkan, kegilaan tersebut tidak terjadi di sekitarku, aku tidak tahu harus kemana aku melangkah, sehingga mungkin yah seperti katamu, aku mengikuti arus”. Kekeluan yang Anggi rasakan seakan-akan sirna, karena mungkin secara tidak langsung ia ingin menampakkan dirinya bahwa ia adalah seorang yang juga cukup beralasan kenapa ia menjadi seorang yang mengikuti arus. 

Tapi sayangnya Via pun nampaknya tidak mau kalah argumen. “Kamu itu Cuma kurang berusaha gi, kamu itu takut jadi minoritas, kamu gampang menyerah”.

Semakin kelu lidah Anggi, tidak ada kata-kata pembelaan lagi yang mampu ia ucapkan. Yah, karena memang ia merasa bahwa ia mungkin gampang menyerah, frustasi karena tidak ada yang sejalan dengan fikirannya. Ikut arus merupakan jalan aman yang ia fikir untuk memenuhi tuntutan dari lingkungannya. Ia fikir dengan mengikuti arus kehidupannya akan normal-normal saja seperti yang lain. Ia tidak usah pusing-pusing memikirkan apa dan bagaimana semua hal bisa terjadi, yang terpenting baginya keluarganya dan ia hidup bahagia. Itu sudah cukup baginya saat ini. itulah mengapa akhirnya ia memilih mengikuti arus. 

Anggi masih kelu, ia bingung harus berkata apa, ia bingung harus memulai ceritanya darimana, bahwa ia bukanlah orang yang seperti Via katakan. Dahulu Ia bukan orang yang mengikuti arus. Ia orang yang kukuh akan pendiriannya. Ia yakin apa yang ia jalani adalah jalan yang terbaik. Ia yakin. Tapi, tekanan-tekanan dari lingkungannya, keluarganya membuat ia berubah arus. Ia harus membelokkan pikiran idealnya menuju pemikiran yang penuh pragmatis. Hingga pada satu kali ia pernah mentwit di twitter ‘hidup idealisme di jaman sekarang ini seperti manusia yang berusaha singgah di galaksi selain  galaksi bima sakti’. Yah, ia memutuskan menjadi opurtunis dan pragmatis. Tapi, memang satu hal yang tidak bisa ia sangkal bahwa memang ia kalah akan mayoritas lingkungannya. Ia tidak bisa mempertahankan idealisme yang ia impi-impikan sejak ia remaja. Ini yang membuatnya semakin kelu.
“Memang susah menjadi minoritas, sangat susah. Tapi kalo kamu mau berusaha dan terus mencari nilai-nilai yang sesuai dengan diri kamu, kamu akan mendapatkan diri kamu, aku yakin itu. perjuangan kamu harus lebih kuat, jangan mudah menyerah. Itu saja” Via melanjutkan pembicaraan tersebut.

“mmmm,,, aku memang bingung, aku juga enggak tahu mesti bagaimana, aku mungkin memang kurang berjuang, dan aku enggak tahu mesti bagaimana” Anggi menjawab berusaha memecahkan kekeluan lidahnya dengan pengakuan, bukan lagi dengan pembenaran diri.
Tapi, Via malah tertawa lalu berkata “kamu harus pilih jalanmu, kamu harus berani, aku sudah mencoba berbagai hal gi, aku pernah bergabung dengan kelompok yang pemikirannya liberal, agamis, dan kelompok lainnya. Aku enggak pernah menyerah gi meskipun aku memiliki pengalaman buruk dalam mencari diriku. Aku pernah mengalami 3x pelecehan seksual gi.” Anggi tercengang, tapi ia tidak tahu apakah Via membaca raut wajahnya karena Via terus melanjutkan cerita tentang dirinya. “dengan seorang yang dari ini, itu dan anu. Tapi sekarang aku menemukan diriku gi. Aku tahu dimana aku berada sekarang, aku tahu kelompok yang sekarang aku pilih adalah kelompok yang memiliki nilai-nilai yang aku rindukan, nilai-nilai yang aku suka. Aku bergabung dengan kelompok ini dan aku mulai merasa bahwa disinilah tempatku gi.” 

Anggi masih tertegun dengan cerita Via tentang pelecehan seksual tersebut. Rasanya ia ingin mengorek lebih dalam tentang pelecehan seksual tersebut. Ia ingin bertanya kenapa bisa terjadi? Ia tahu hal itu tidak mungkin. Baginya Via adalah seorang yang tidak mungkin mengalami pelecehan semacam itu. Baginya Via adalah seseorang yang akan menginspirasikan dia sejak pertama Ia bertemu. Baginya Via adalah seorang wonder women, jadi tidak mungkin pelecehan yang ia sebutkan itu terjadi pada dirinya. Ia sangat percaya itu. Tapi, Via seakan-akan tidak perduli dengan wajah Anggi yang menuntut diceritakan lebih banyak lagi tentang kisah pelecehan seksualnya tersebut. Via seakan-akan menceritakan peristiwa tersebut seperti kehilangan uang seribu rupiah di kopaja.

“Di kelompok ini aku menemukan seorang pacar, ia berbeda gi dengan pacar-pacarku sebelumnya. Ia benar-benar menghargai perempuan gi. Ia adalah pria yang selama ini aku idam-idamkan gi. Seseorang yang memiliki pemikiran terbuka dan tahu pemikiran ku yang menuntut kesetaraan antara wanita dan laki-laki. Tapi, sebenarnya tujuanku bukan mencari pacar. Mendapatkan pacar itu yah mungkin bonus,,,, hehehehe...” Via tertawa.

Anggipun hanya tersenyum. Kemudian Via melanjutkan pembicaraannya, “Intinya perjuanganku itu juga enggak mudah gi. Aku tetap berdiri di atas kakiku terhadap apa yang aku percayai. Aku tidak perduli walaupun aku minoritas. Hal terutama buat aku adalah aku menemukan siapa diriku dan aku menjalani kehidupan dengan penuh keyakinan atas nilai-nilai yang aku percaya. Kamu juga harus mencari dirimu gi. Jangan nyerah.” 

Anggi tersenyum, ia bersyukur bertemu dan berdiskusi kembali dengan Via setelah sekian lama tidak bertemu. Ia merasa terselamatkan sebelum pemikiran-pemikiran oportunis dan pragmatisnya menguasai pikirannya. Diskusinya dengan Via siang hari ini menjadikan ia bersemangat dan tersadarkan bahwa ia harus mencari dan terus mencari untuk menemukan siapa dirinya. Bagaiman mencarinya? Itu pertanyaannya sekarang.

Kemudian Via melanjutkannya, “aku mencari diriku dengan melihat sekitar gi, aku tidak mencarinya di buku. Aku juga butuh pengalaman untuk mengenal diriku tapi bukan dari buku, karena buku adalah hasil pengalaman orang lain, situasi dan kondisinya sudah berbeda gi, jadinya enggak bisa semuanya diaplikasikan di kehidupanmu. Kamu harus mencarinya dan mungkin nanti kamu bisa menjadikannya buku.”

Yah, itu mungkin salah satu cara alternatif yang diberikan oleh Via. Pikiran Anggi berkecamuk sembari mendengarkan Via berkata-kata. Tiba-tiba Via berkata, “kamu ada kuliah kan siang ini?” Anggi mengangguk. “ya udah kita sudahin aja diskusi kita, lain kali kita sambung”. Anggi tersenyum, “Ok Vi, aku senang bisa diskusi. Makasih ya atas waktunya”. Via kemudia tertawa, “hahahahah, kamu itu, aku mau diskusi dengan kamu karena aku perduli akan sosial, perduli dengan sekelilingku”. Anggi pun tersenyum dan mengerti. Jawaban Via tadi seakan-akan menjawab pertanyaan yang ia miliki sebelum bertemu dengan Via. Via yang menginginkan diadakannya pertemuan. Dan Anggi bingung, untuk apa bertemu, ia merasa tidak ada hal yang penting yang harus mereka bicarakan. Apalagi mereka sudah lama tidak bertemu dan bertelfon-telefonan minimal. Akan tetapi, pertemuan dan diskusi yang singkat tersebut seakan-akan memberikan pencerahan akan kesemrawutan pikiran yang ia punya selama ini. 
Kali ini Anggi hanya tersenyum-senyum kecil mengingat diskusi ringan yang ia lakukan bersama Via. Entah kenapa ia merasa menjadi menjadi begitu beruntung telah berdiskusi dengan Via, setidaknya ia teringat kembali dengan idealismenya yang sempat terpuruk karena tekanan lingkungannya, setidaknya ia tidak akan menjadi perhiasan sangkar madu pria. Dan bis kota tersebut terus melaju menerjang hujan yang kian deras.



Tidak ada komentar: