Renungkan
sejenak arti hadirmu disini
Jangan
pernah ingkari dirimu adalah wanita
Harusnya
dirimu menjadi perhiasan sangkar maduku
Walaupun
kadang diriku bertekuk lutut di depanmu
Lamunan Anggi
tiba-tiba terusik setelah mendengar sepenggal lagu yang dibawakan oleh pengamen
di bis kota. Anggi mengerutkan wajahnya, bukan, bukan karena pengamen tersebut
salah menyanyikan syair lagu tersebut, bukan pula karena ini lagu baru yang
belum pernah Anggi dengar, bukan pula lagu ini memiliki kenangan buruk untuk Anggi.
Hanya saja Anggi tiba-tiba merasa loh kok ini lagu syairnya seperti ini? Loh
kok gue baru nyadar? Loh kok perasaan dulu syairnya enggak begini? Apa gue aja
selama ini enggak sadar sama ini syair. Jangan-jangan selama ini gue hanya
kayak beo yang nyanyiin ini lagu dulu waktu gue masa-masa SMP. Ini syair lagu
enggak enak banget didengarnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tiba-tiba
memenuhi ruang pikiran Anggi. Ia merasa menjadi sok begitu intelektual setelah
memahami peran pentingnya perempuan di dalam kehidupan. Entah sok intelektual
atau keintelektualannya bertambah setelah diskusi yang tanpa sengaja terjadi
antara dia dengan seorang teman yang sudah lama tidak bertemu. Jadi selama ini
sebenarnya sistem yang sudah mapan ini hanyalah didominasi oleh pria-pria
tersebut? Jadi selama ini para pria menganggap merekalah penggerak sejarah?
Jadi selama ini para pria berfikir bahwa perempuan hanyalah hiasan dan
pelengkap untuk mereka? Hoalah.... asu! Pikiran-pikiran yang seperti baru
bangkit setelah diskusi yang dilakukan antara Anggi dengan teman lamanya
menimbulkan banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Anggi.
Pertemuan yang
tidak disangka-sangka itu membuat Anggi hanya terpengarah dengan ucapan teman
lamanya tersebut. banyak hal yang membuatnya terpengarah, salah satunya adalah
banyak perubahan yang terjadi dengan temannya ini mulai dari penampilannya
hingga pemikirannya. Ia tidak menyangka temannya akan berubah sedrastis ini.
“apa tujuan
hidupmu?” pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Via kepada Anggi setelah
mereka cipika-cipiki dan menanyakan kabar.
“aku?” Anggi
tampak bingung untuk menjawab. Tapi ia memasakkan dirinya untuk menjawab.
“layaknya manusia ketika ia sudah kuliah dan lulus, lalu ia akan mendapatkan
pekerjaan, memiliki uang, menikah, memiliki anak dan selesai”.
“maksud dari
selesai?”
“yah, kehidupan
selesai”.
“berarti kamu
hanya mengikuti arus, kamu belum memiliki tujuan hidup”.
Anggi merasakan
lidahnya kelu, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Yang keluar hanya “yah
mungkin, mungkin iya”, “aku hanya terkadang bingung harus berbuat apa, aku
tidak tahu seakan-akan aku tidak memiliki kekuatan akan diriku sendiri, akan
kegilaan-kegilaan yang kupikirkan, kegilaan tersebut tidak terjadi di
sekitarku, aku tidak tahu harus kemana aku melangkah, sehingga mungkin yah
seperti katamu, aku mengikuti arus”. Kekeluan yang Anggi rasakan seakan-akan
sirna, karena mungkin secara tidak langsung ia ingin menampakkan dirinya bahwa
ia adalah seorang yang juga cukup beralasan kenapa ia menjadi seorang yang
mengikuti arus.
Tapi sayangnya
Via pun nampaknya tidak mau kalah argumen. “Kamu itu Cuma kurang berusaha gi,
kamu itu takut jadi minoritas, kamu gampang menyerah”.
Semakin kelu
lidah Anggi, tidak ada kata-kata pembelaan lagi yang mampu ia ucapkan. Yah,
karena memang ia merasa bahwa ia mungkin gampang menyerah, frustasi karena
tidak ada yang sejalan dengan fikirannya. Ikut arus merupakan jalan aman yang
ia fikir untuk memenuhi tuntutan dari lingkungannya. Ia fikir dengan mengikuti
arus kehidupannya akan normal-normal saja seperti yang lain. Ia tidak usah
pusing-pusing memikirkan apa dan bagaimana semua hal bisa terjadi, yang
terpenting baginya keluarganya dan ia hidup bahagia. Itu sudah cukup baginya
saat ini. itulah mengapa akhirnya ia memilih mengikuti arus.
Anggi masih
kelu, ia bingung harus berkata apa, ia bingung harus memulai ceritanya
darimana, bahwa ia bukanlah orang yang seperti Via katakan. Dahulu Ia bukan
orang yang mengikuti arus. Ia orang yang kukuh akan pendiriannya. Ia yakin apa
yang ia jalani adalah jalan yang terbaik. Ia yakin. Tapi, tekanan-tekanan dari
lingkungannya, keluarganya membuat ia berubah arus. Ia harus membelokkan
pikiran idealnya menuju pemikiran yang penuh pragmatis. Hingga pada satu kali
ia pernah mentwit di twitter ‘hidup idealisme di jaman sekarang ini seperti
manusia yang berusaha singgah di galaksi selain
galaksi bima sakti’. Yah, ia memutuskan menjadi opurtunis dan pragmatis.
Tapi, memang satu hal yang tidak bisa ia sangkal bahwa memang ia kalah akan
mayoritas lingkungannya. Ia tidak bisa mempertahankan idealisme yang ia
impi-impikan sejak ia remaja. Ini yang membuatnya semakin kelu.
“Memang susah
menjadi minoritas, sangat susah. Tapi kalo kamu mau berusaha dan terus mencari
nilai-nilai yang sesuai dengan diri kamu, kamu akan mendapatkan diri kamu, aku
yakin itu. perjuangan kamu harus lebih kuat, jangan mudah menyerah. Itu saja”
Via melanjutkan pembicaraan tersebut.
“mmmm,,, aku
memang bingung, aku juga enggak tahu mesti bagaimana, aku mungkin memang kurang
berjuang, dan aku enggak tahu mesti bagaimana” Anggi menjawab berusaha
memecahkan kekeluan lidahnya dengan pengakuan, bukan lagi dengan pembenaran
diri.
Tapi, Via malah
tertawa lalu berkata “kamu harus pilih jalanmu, kamu harus berani, aku sudah
mencoba berbagai hal gi, aku pernah bergabung dengan kelompok yang pemikirannya
liberal, agamis, dan kelompok lainnya. Aku enggak pernah menyerah gi meskipun
aku memiliki pengalaman buruk dalam mencari diriku. Aku pernah mengalami 3x
pelecehan seksual gi.” Anggi tercengang, tapi ia tidak tahu apakah Via membaca
raut wajahnya karena Via terus melanjutkan cerita tentang dirinya. “dengan
seorang yang dari ini, itu dan anu. Tapi sekarang aku menemukan diriku gi. Aku
tahu dimana aku berada sekarang, aku tahu kelompok yang sekarang aku pilih
adalah kelompok yang memiliki nilai-nilai yang aku rindukan, nilai-nilai yang
aku suka. Aku bergabung dengan kelompok ini dan aku mulai merasa bahwa
disinilah tempatku gi.”
Anggi masih tertegun
dengan cerita Via tentang pelecehan seksual tersebut. Rasanya ia ingin mengorek
lebih dalam tentang pelecehan seksual tersebut. Ia ingin bertanya kenapa bisa
terjadi? Ia tahu hal itu tidak mungkin. Baginya Via adalah seorang yang tidak
mungkin mengalami pelecehan semacam itu. Baginya Via adalah seseorang yang akan
menginspirasikan dia sejak pertama Ia bertemu. Baginya Via adalah seorang
wonder women, jadi tidak mungkin pelecehan yang ia sebutkan itu terjadi pada
dirinya. Ia sangat percaya itu. Tapi, Via seakan-akan tidak perduli dengan
wajah Anggi yang menuntut diceritakan lebih banyak lagi tentang kisah pelecehan
seksualnya tersebut. Via seakan-akan menceritakan peristiwa tersebut seperti
kehilangan uang seribu rupiah di kopaja.
“Di kelompok ini
aku menemukan seorang pacar, ia berbeda gi dengan pacar-pacarku sebelumnya. Ia
benar-benar menghargai perempuan gi. Ia adalah pria yang selama ini aku
idam-idamkan gi. Seseorang yang memiliki pemikiran terbuka dan tahu pemikiran
ku yang menuntut kesetaraan antara wanita dan laki-laki. Tapi, sebenarnya
tujuanku bukan mencari pacar. Mendapatkan pacar itu yah mungkin bonus,,,,
hehehehe...” Via tertawa.
Anggipun hanya
tersenyum. Kemudian Via melanjutkan pembicaraannya, “Intinya perjuanganku itu
juga enggak mudah gi. Aku tetap berdiri di atas kakiku terhadap apa yang aku
percayai. Aku tidak perduli walaupun aku minoritas. Hal terutama buat aku
adalah aku menemukan siapa diriku dan aku menjalani kehidupan dengan penuh
keyakinan atas nilai-nilai yang aku percaya. Kamu juga harus mencari dirimu gi.
Jangan nyerah.”
Anggi tersenyum,
ia bersyukur bertemu dan berdiskusi kembali dengan Via setelah sekian lama
tidak bertemu. Ia merasa terselamatkan sebelum pemikiran-pemikiran oportunis
dan pragmatisnya menguasai pikirannya. Diskusinya dengan Via siang hari ini
menjadikan ia bersemangat dan tersadarkan bahwa ia harus mencari dan terus
mencari untuk menemukan siapa dirinya. Bagaiman mencarinya? Itu pertanyaannya
sekarang.
Kemudian Via
melanjutkannya, “aku mencari diriku dengan melihat sekitar gi, aku tidak
mencarinya di buku. Aku juga butuh pengalaman untuk mengenal diriku tapi bukan
dari buku, karena buku adalah hasil pengalaman orang lain, situasi dan
kondisinya sudah berbeda gi, jadinya enggak bisa semuanya diaplikasikan di
kehidupanmu. Kamu harus mencarinya dan mungkin nanti kamu bisa menjadikannya
buku.”
Yah,
itu mungkin salah satu cara alternatif yang diberikan oleh Via. Pikiran Anggi
berkecamuk sembari mendengarkan Via berkata-kata. Tiba-tiba Via berkata, “kamu
ada kuliah kan siang ini?” Anggi mengangguk. “ya udah kita sudahin aja diskusi
kita, lain kali kita sambung”. Anggi tersenyum, “Ok Vi, aku senang bisa diskusi.
Makasih ya atas waktunya”. Via kemudia tertawa, “hahahahah, kamu itu, aku mau
diskusi dengan kamu karena aku perduli akan sosial, perduli dengan
sekelilingku”. Anggi pun tersenyum dan mengerti. Jawaban Via tadi seakan-akan
menjawab pertanyaan yang ia miliki sebelum bertemu dengan Via. Via yang
menginginkan diadakannya pertemuan. Dan Anggi bingung, untuk apa bertemu, ia
merasa tidak ada hal yang penting yang harus mereka bicarakan. Apalagi mereka
sudah lama tidak bertemu dan bertelfon-telefonan minimal. Akan tetapi,
pertemuan dan diskusi yang singkat tersebut seakan-akan memberikan pencerahan
akan kesemrawutan pikiran yang ia punya selama ini.
Kali
ini Anggi hanya tersenyum-senyum kecil mengingat diskusi ringan yang ia lakukan
bersama Via. Entah kenapa ia merasa menjadi menjadi begitu beruntung telah berdiskusi
dengan Via, setidaknya ia teringat kembali dengan idealismenya yang sempat
terpuruk karena tekanan lingkungannya, setidaknya ia tidak akan menjadi
perhiasan sangkar madu pria. Dan bis kota tersebut terus melaju menerjang hujan
yang kian deras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar