Rabu, 09 Mei 2012

Realitas itu bernama perempuan

Saya, Kita, Kamu, Anda dan Mereka adalah perempuan. Kemarin mungkin menjadi hari yang melelahkan, bisa jadi ia menyebutnya demikian. Namun kemarin ia menangkap sebuah realita yang tergabung dalam satu ruang. Yah, realita itu adalah perempuan. Salah seorang temannya mengajaknya untuk menghadari sebuah acara peringatan kematian Marsinah, 8 Mei. 19 tahun yang lalu tepat pada 8 Mei 1993 telah ditemukan sesosok mayat di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Mayat tersebut adalah mayat Marsinah, seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Mayatnya ditemukan dalam kondisi yang menggenaskan. Mengapa Marsinah dibunuh? cerita yang panjang tentang perjuangan buruh perempuan yang menuntut haknya untuk memiliki kenaikan gaji sesuai dengan SK Gubernur pada saat itu. Pabrik dimana ia bekerja tidak sudi untuk menaikkan gaji para buruh yang bekerja di sana. Hingga akhirnya Marsinah dan kawan-kawan buruh lainnya melakukan mogok kerja yang dimulai sejak tanggal 3 Mei 1993. Namun, kehidupan Marsinah berakhir menggenaskan. Diduga kematian Marsinah ada kaitannya dengan aparat keamanan yang sebelumnya telah menangkap Marsinah. Namun, hingga saat ini kasus Marsinah masih belum menemukan titik cerah. 

Semangat Marsinah, kemarin malam ah bahasa yang tepat mungkin tadi malam, dirasakan olehnya. Ia merasakan aura-aura perjuangan buruh-buruh pabrik perempuan yang hadir di dalam diskusi tentang perjuangan Marsinah dan penetapan bahwa Marsinah adalah pahlawan nasional. Ia merasakan sebuah realita yang langsung ia dengar melalui mulut-mulut buruh perempuan yang setiap harinya berjuang membanting tulang, mencari uang demi melanjutkan kehidupan. Ia terkesima, iya tentu saja. Ia melihat kumpulan-kumpulan realita yang mungkin tidak akan ia alami, yang mungkin tidak akan ia rasakan. Ia mendengarkan bagaimana para buruh bercerita betapa lelahnya mereka sehabis sepulang kerja mereka masih harus merapihkan rumah, mengurus anak dan suami. Ia juga mendengar, ketika mereka bercerita bahwa sulit untuk mendapatkan cuti haid, hamil, melahirkan dan masa persalinan. Yah, apakah para pemilik modal harus memberikan cuti-cuti tersebut terhadap perempuan? Tentu saja, mereka para pemilik modal tidak bisa mengelakkan kodrat perempuan yang memiliki masa haid, masa hamil, masa melahirkan dan setelah melahirkan. Mereka para pemilik modal seyogyanya menyadari bahwa kami kaum perempuan layak memperoleh semua cuti tersebut. Mereka tidak dapat semena-mena memberikan ijin masa melahirkan tanpa menggaji buruh-buruh perempuan. Para pemilik modal telah mengeruk keuntungan begitu banyak dari para buruh perempuan. 

Sistem patriarki yang mengakar begitu kuat di sini, di negeri tercinta Indonesia, telah menciptakan sistem yang sedemikian rupa mendukung kapitalisme dan menjadikan perempuan sebagai bulan-bulanan mereka. Dengan bermacam-macam bentuk bulan-bulanan tersebut, yang jelas hampir secara keseluruhan termanifestasi di dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhananya adalah seperti disebutkan di atas, yah perempuan sulit mendapatkan cuti-cuti tersebut. Mengapa cuti-cuti ini penting? Anak-anak yang dilahirkan oleh rahim seorang ibu jika dewasa nanti anak-anak tersebut disadari atau tidak disadari nantinya akan menjadi salah satu aset bagi kapitalis lainnya. Maka akan terasa sangat 'kurang ajar' jika anak-anak tersebut hanya dibiarkan tumbuh dengan membebankan tanggung jawabnya kepada ibu yang tidak memiliki gaji setelah masa persalinan, namun ibu tersebut hanya mendapatkan ijin untuk tidak masuk bekerja. 

Realita dalam satu ruang, entah terasa pusing kepalanya sebenarnya, dunia begitu rumit dan kacau. Kekacauan yang entah apakah akan mengalami keteraturan seperti peristiwa alam? 'Keteraturan' yang entah bagaimana yang semestinya. Entahlah

*penggambaran orang ketiga menjadikan saya sebagai pengamat :)

Tidak ada komentar: