Membutuhkan waktu yang begitu lama baginya
untuk menyadari sebuah zona yang telah begitu lama ia tempati. Sebuah zona yang
ia kini definisikan sebagai zona abu-abu. Sebuah definisi yang muncul melalui
proses yang lama, sebuah definisi yang hadir dari mulut seorang aktris film
yang tanpa sengaja melemparnya dalam sebuah dunia kesadaran, zona abu-abu. Zona
abu-abu yang tidak lagi menjadi abu-abu ketika sentimental perasaan mengoyak
zona abu-abu dan dalam seketika menamparnya menuju objektifisme. Bagaikan
permen karet yang dalam satu waktu dapat ditarik menuju dua arah yang berlawan,
subjektifisme dan objektifisme. Dua istilah yang ia kenal ketika goncangan
identitas menuntut jawaban dan ia terdudukkan dalam eksistensialisme Sartre.
Tokoh Perancis yang ia anggap adalah orang gila yang membawa perubahan besar
bagi Perancis. Kini tokoh tersebut membawa perubahan bagi dirinya yang masih
terduduk dalam zona abu-abu.
Ketika berada dalam zona abu-abu, ia
merasakan sebuah kenikmatan pengamat yang tidak terdefinisikan dalam ruang
subjektifisme maupun objektifisme. Ia berada di dalam ruang tanpa udara, tanpa
suara, tanpa kata. Hanya ada diam. Diam yang membawa arti menjadi penasihat,
pemberi masukan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Dalam zona ini, ia tersenyum
melalui kata, melalui angin, melalui tatapan. Ia menikmati setiap jengkal kata
dan sentuhan yang mengalir dan melanggengkan posisinya dalam zona abu-abu.
Sebenarnya, ia sendiri tidak pernah menyadari zona ini. Ia tidak pernah
mendefinisikannya seperti sekarang ini, ia hanya merasakannya. Dan perasaan ini
menguat ketika pada suatu ketika ia terlempar dengan kerasnya dalam dunia sentimental.
Andai saja ia tidak bermain-main secara
acak menggugah sentimental seorang pria, andai saja ia tidak memutuskan pulang
bersama dengan seorang pria pada suatu sore. Andai saja. Mungkin ia akan tetap
di dalam sebuah zona yang tidak terdefinisikan hingga saat ini. Mungkin saja ia
tidak akan mengalami bantingan-bantingan keras yang terjadi dalam satu waktu di
ruang tanpa udara ini. Namun semua itu semacam penolakan keras akan sebuah
kesadaran. Ia mempermainkan dunia subjektifisme secara acak. Permainan acak
yang ia tidak sadari ternyata menyentuh sentimental jiwanya. Permainan acak
yang sering ia mainkan namun tidak sampai seperti ini jadinya.
Suatu sore yang lelah, peluh dan penat
bercampur dalam kelelahannya menjadi seorang panitia di sebuah acara yang
diadakan oleh fakultasnya. Sebuah niat keisengan demi mencapai kepuasannya
sendiri ia memberanikan diri untuk menyentuh dunia sentimental seorang pria.
Terduduk dalam padang pasir, menyaksikan debu berterbangan dalam satu waktu.
Kadang menuju timur, kadang menuju barat, kadang menuju selatan, kadang menuju
utara. Ia hanya terduduk menyaksikan debu yang tidak berdaya dalam genggaman
angin. Ia terdiam. Terdiam dalam ragu. Ia menyaksikan sebuah peristiwa alam
yang berusaha menariknya dalam sebuah kesadaran. Kini ia tengah duduk di depan
seorang pria yang baru saja berkata, “Jadi bagaimana? Bagaimana dengan Kita?”. Lampu
temaram kafe kecil tersebut meneduhi wajah pria tersebut. Pria tersebut masih
menunggunya untuk mengucapkan sebuah kata. Pria tersebut masih tersenyum dengan
bahagia. Mungkin pria tersebut tidak menyangka mengapa perempuan yang tengah
terduduk di depannya ini menuturkan banyak hal yang menarik pria tersebut
mengucapkan kata-kata demikian.
Ia terdiam. Jiwanya terdiam. Hatinya
terdiam. Terdiam. Namun ia sadar ia harus mengatakan kata. Mengucapkannya saja,
agar pria ini menikmati sebuah peristiwa yang ia tidak pikirkan sebelumnya. Ia
mengalihkan pandangannya dari pria tersebut, memainkan sedotan di gelas dingin
berisi es teh. Ia ragu. Sentimental jiwanya bermain kencang. Namun tiba-tiba,
mulutnya bergerak, “Yah,” disertai dengan anggukan kecil. Kemudian ia tersenyum,
tersenyum dalam ragu. Jiwanya ragu. Hatinya ragu. Ragu. Pria tersebut tertawa
sumringah, tersenyum melebar lalu berkata “Jadi hari ini hari Kamis, tepat jam
8 malam”. Mungkin saja jika ia dan pria tersebut tidak terhalangi meja kafe
tersebut, pria tersebut sudah memeluknya. Namun sepertinya itu hanya
angan-angan sinetron picisan. Ia pun tertawa. Entah bahagia, entah ragu, entah.
4 Mei siang hari, ia berada di dalam sebuah
angkot kecil menuju sebuah tempat. Ia terdiam dalam lamunan, melihat banyak
kisah di sekitarnya, namun sebenarnya ia tengah mengalami badai kebimbangan
yang sangat kuat. Ia seperti terpelanting-pelanting dalam ketidakpastian. Ia merasa
ia adalah bagian dari kepadatan sebuah benda yang telah memadat dan terus
memadat hingga akhirnya terpecah, terlempar jauh, menjadi serpihan yang
terangguk-angguk dalam sebuah angkot kecil. Big Bang! Akhirnya memutuskan
sebuah keputusan acak yang ia sadari akan menjadi solusi dari tindakan acak
yang telah terjadi beberapa hari yang lalu. Tangannya mengetik cepat pada
sebuah handphone yang akan membantunya mengembalikan dirinya dalam sebuah
singgasana zona abu-abu. Banyak kata, kata benda, kata kerja, kata sifat dan
terakhir kata maaf. Tersenyum ragu, jiwanya ragu, hatinya ragu. Namun, ia tetap
mengirimkan kata-kata tersebut.
Satu tahun berlalu, terlalu cepat
sebenarnya. Namun banyak kisah yang secara tidak sadar telah ia rangkai dalam
setengah jiwanya yang masih merasakan sakit. Sakit, apa perlu ia menyebut
peristiwa satu tahun lalu itu sebagai sakit? Apa mampu ia menyebutnya sebagai
luka, sedang ia adalah subjek penentu dari ketidakpastian yang telah terjalin
setelah malam temaram di kafe kecil tersebut? Ia tidak perduli sekitar hidupnya
memandang sinis, ia tidak acuh terhadap bisikan-bisikan yang berhembus di
sekitar mata-mata yang memandangnya. Ia terlalu aku untuk menjadi perduli
terhadap tindakan acak yang menggoncang jiwanya hingga hari ini. Namun,
adakalanya ia bertekuk lutut terhadap sakit yang entah bagaimana ia menjadi
sakit? Tidak ada yang salah ketika ia memutuskan untuk mengakhiri apa yang ia
mulai, tidak ada yang salah ketika ia menyudahi gejolak endorfin yang berawal
dari sebuah keraguan. Semuanya berakhir bergitu lancar. Singgasana abu-abu
telah menantinya kembali, walau godaan sentimental begitu kuat hingga
membuatnya jatuh terduduk dan menyeret dirinya dalam pojok objektifisme. Ia
berusaha memandangnya sebagai sebuah peristiwa yang berjarak dengan dirinya. Ia
tidak ingin terlibat dalam keintiman perasaan yang berlebihan. Adakalanya ia
berhasil mencapai titik tersebut. Namun, sialnya ada saja hal-hal sederhana
yang secara tiba-tiba menjungkir balikkan posisi tertinggi dari kurva yang
telah ia capai menuju jurang yang dipenuhi dengan bumbu-bumbu endorfin sesaat.
Sakit yang tidak kunjung berakhir.
Terkadang ia berpikir ia tengah terjebak dalam sebuah dunia sentimental yang
berkali-kali ditancapkan ke dalam pemikirannya sejak kecil. Dunia sintemental
yang dinyanyikan, difilmkan, dipertontonkan, dirasakan, dan didengarkan di
seluruh dunia setiap detiknya. Bahkan grup band favoritnya pun menjadi
penyumbang terbesar bagi kehidupannya dalam memberikan gambaran akan dunia sentimental
ini. Mungkin ia adalah serpihan Big Bang yang belum sempat didefinisikan oleh
ilmuwan, karena letaknya yang begitu jauh, sehingga ia tidak memiliki
identitas. Ia sendiri tak mampu memberikan identitas terhadap dirinya, meski
akhir-akhir ini ia menyadari bahwa ia adalah si zona abu-abu. Namun, hal
tersebut dapat dalam sekejap berubah seiring dengan keaktifannya mengecek
status-status pria tersebut dalam dunia maya.
“Apakah alam semesta ini begitu luas hingga
aku harus berteriak begitu kencang? Apakah tidak ada ilmuwan yang menyadari
keberadaanku?”, suatu ketika ia berteriak.
Ah, lelah dalam tangis yang tidak membasahi
pipinya. Capek tiada arti ketika ia mengetahui bahwa pria tersebut kini tengah
mengalami badai endorfin karena ia telah mengakhiri masa suram sejak 4 Mei
dengan menggandeng seorang pasangan baru. Apa lagi yang perlu dirasakan mungkin
sudah tak mampu ia rasakan mendengar kabar tersebut. Ia terjebak dalam dunia
angan yang menyebabkannya lelah dan sakit, terpojok dalam kesakitannya seorang
diri. Koyakan demi koyakan yang terus menggerogoti hidupnya membuatnya
terpental-pental bagai bola ping pong yang telah kebas terhadap pukulan-pukulan
keras pemain tenis profesional. Ia semacam bola ping pong favorit yang sering
digunakan oleh pemain tenis profesional tersebut, atau pemain tenis profesional
tersebut tidak menyadari bahwa tanpa disengaja ia selalu menggunakan bola ping
pong tersebut untuk latihan, atau pembantu pemain tenis profesional tersebut
selalu lupa untuk mengganti bola ping pong yang sudah sering kena pukul ini? Kebas.
Seminggu kemudian berlalu, ia bertemu dengan pria tersebut tanpa sengaja. Tepat
di depan kafe temaram itu. Tepat pukul 8 malam. Sapaan sederhana terlontar dari
mulutnya, kamu mau kemana? Bagaimana kabarmu? Sederhana, tidak berkesan, datar.
Namun, bukan, itu hanya sekedar mimpinya, bagaimana bisa ketepatan terjadi
dalam satu waktu dan cukup menggambarkan suasana hatinya. Yah, memang sekedar
angan. Angan untuk menunjukkan eksistensinya yang kelabu.
Sebulan berlalu dalam kebas. Sebulan
berlalu memberikan ketenangan. Sentimental jiwanya berkurang. Sebulan berlalu
bagai gantungan tas yang mengambang-ngambang, terkait pada sebuah tas yang
menerima berbagai macam terpaan kerasnya kenyataan. Namun gantungan tas
tersebut telah kebas dan cukup tenang. Sebulan dalam kewajaran baru yang tidak
membutuhkan penjelasan akan frasa kewajaran baru tersebut. Mengalir begitu saja
bagai udara yang berhembus setiap saat melalui rongga hidungnya, seperti
tatapan yang berlalu begitu saja, seperti genggaman seorang Ibu terhadap
anaknya ketika melintasi jalan. Semua terjadi begitu saja, dalam diam penuh
udara dan kata, dalam ramai tanpa udara dan kata. Ia menikmatinya. Mungkin ini
semacam fase baru akan kewajaran baru yang ia rasakan dalam sebuah ruang
kehidupan. Mungkin ini ketenangan yang ia peroleh setelah melewati
benturan-benturan keras. Mungkin ini zona baru yang akan ia nikmati untuk hari
ini, besok dan selanjutnya. Hingga datang benturan lainnya yang akan mengguncang
dua sisi makna hidup, kewarasan dan kegilaan. Entah, itu hanya semacam prediksi
belaka di belantara ketidakpastian hidup ini. Entah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar