Kamis, 17 Mei 2012

Zona abu-abu


Membutuhkan waktu yang begitu lama baginya untuk menyadari sebuah zona yang telah begitu lama ia tempati. Sebuah zona yang ia kini definisikan sebagai zona abu-abu. Sebuah definisi yang muncul melalui proses yang lama, sebuah definisi yang hadir dari mulut seorang aktris film yang tanpa sengaja melemparnya dalam sebuah dunia kesadaran, zona abu-abu. Zona abu-abu yang tidak lagi menjadi abu-abu ketika sentimental perasaan mengoyak zona abu-abu dan dalam seketika menamparnya menuju objektifisme. Bagaikan permen karet yang dalam satu waktu dapat ditarik menuju dua arah yang berlawan, subjektifisme dan objektifisme. Dua istilah yang ia kenal ketika goncangan identitas menuntut jawaban dan ia terdudukkan dalam eksistensialisme Sartre. Tokoh Perancis yang ia anggap adalah orang gila yang membawa perubahan besar bagi Perancis. Kini tokoh tersebut membawa perubahan bagi dirinya yang masih terduduk dalam zona abu-abu. 

Ketika berada dalam zona abu-abu, ia merasakan sebuah kenikmatan pengamat yang tidak terdefinisikan dalam ruang subjektifisme maupun objektifisme. Ia berada di dalam ruang tanpa udara, tanpa suara, tanpa kata. Hanya ada diam. Diam yang membawa arti menjadi penasihat, pemberi masukan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Dalam zona ini, ia tersenyum melalui kata, melalui angin, melalui tatapan. Ia menikmati setiap jengkal kata dan sentuhan yang mengalir dan melanggengkan posisinya dalam zona abu-abu. Sebenarnya, ia sendiri tidak pernah menyadari zona ini. Ia tidak pernah mendefinisikannya seperti sekarang ini, ia hanya merasakannya. Dan perasaan ini menguat ketika pada suatu ketika ia terlempar dengan kerasnya dalam dunia sentimental.
Andai saja ia tidak bermain-main secara acak menggugah sentimental seorang pria, andai saja ia tidak memutuskan pulang bersama dengan seorang pria pada suatu sore. Andai saja. Mungkin ia akan tetap di dalam sebuah zona yang tidak terdefinisikan hingga saat ini. Mungkin saja ia tidak akan mengalami bantingan-bantingan keras yang terjadi dalam satu waktu di ruang tanpa udara ini. Namun semua itu semacam penolakan keras akan sebuah kesadaran. Ia mempermainkan dunia subjektifisme secara acak. Permainan acak yang ia tidak sadari ternyata menyentuh sentimental jiwanya. Permainan acak yang sering ia mainkan namun tidak sampai seperti ini jadinya.

Suatu sore yang lelah, peluh dan penat bercampur dalam kelelahannya menjadi seorang panitia di sebuah acara yang diadakan oleh fakultasnya. Sebuah niat keisengan demi mencapai kepuasannya sendiri ia memberanikan diri untuk menyentuh dunia sentimental seorang pria. Terduduk dalam padang pasir, menyaksikan debu berterbangan dalam satu waktu. Kadang menuju timur, kadang menuju barat, kadang menuju selatan, kadang menuju utara. Ia hanya terduduk menyaksikan debu yang tidak berdaya dalam genggaman angin. Ia terdiam. Terdiam dalam ragu. Ia menyaksikan sebuah peristiwa alam yang berusaha menariknya dalam sebuah kesadaran. Kini ia tengah duduk di depan seorang pria yang baru saja berkata, “Jadi bagaimana? Bagaimana dengan Kita?”. Lampu temaram kafe kecil tersebut meneduhi wajah pria tersebut. Pria tersebut masih menunggunya untuk mengucapkan sebuah kata. Pria tersebut masih tersenyum dengan bahagia. Mungkin pria tersebut tidak menyangka mengapa perempuan yang tengah terduduk di depannya ini menuturkan banyak hal yang menarik pria tersebut mengucapkan kata-kata demikian.

Ia terdiam. Jiwanya terdiam. Hatinya terdiam. Terdiam. Namun ia sadar ia harus mengatakan kata. Mengucapkannya saja, agar pria ini menikmati sebuah peristiwa yang ia tidak pikirkan sebelumnya. Ia mengalihkan pandangannya dari pria tersebut, memainkan sedotan di gelas dingin berisi es teh. Ia ragu. Sentimental jiwanya bermain kencang. Namun tiba-tiba, mulutnya bergerak, “Yah,” disertai dengan anggukan kecil. Kemudian ia tersenyum, tersenyum dalam ragu. Jiwanya ragu. Hatinya ragu. Ragu. Pria tersebut tertawa sumringah, tersenyum melebar lalu berkata “Jadi hari ini hari Kamis, tepat jam 8 malam”. Mungkin saja jika ia dan pria tersebut tidak terhalangi meja kafe tersebut, pria tersebut sudah memeluknya. Namun sepertinya itu hanya angan-angan sinetron picisan. Ia pun tertawa. Entah bahagia, entah ragu, entah. 

4 Mei siang hari, ia berada di dalam sebuah angkot kecil menuju sebuah tempat. Ia terdiam dalam lamunan, melihat banyak kisah di sekitarnya, namun sebenarnya ia tengah mengalami badai kebimbangan yang sangat kuat. Ia seperti terpelanting-pelanting dalam ketidakpastian. Ia merasa ia adalah bagian dari kepadatan sebuah benda yang telah memadat dan terus memadat hingga akhirnya terpecah, terlempar jauh, menjadi serpihan yang terangguk-angguk dalam sebuah angkot kecil. Big Bang! Akhirnya memutuskan sebuah keputusan acak yang ia sadari akan menjadi solusi dari tindakan acak yang telah terjadi beberapa hari yang lalu. Tangannya mengetik cepat pada sebuah handphone yang akan membantunya mengembalikan dirinya dalam sebuah singgasana zona abu-abu. Banyak kata, kata benda, kata kerja, kata sifat dan terakhir kata maaf. Tersenyum ragu, jiwanya ragu, hatinya ragu. Namun, ia tetap mengirimkan kata-kata tersebut.

Satu tahun berlalu, terlalu cepat sebenarnya. Namun banyak kisah yang secara tidak sadar telah ia rangkai dalam setengah jiwanya yang masih merasakan sakit. Sakit, apa perlu ia menyebut peristiwa satu tahun lalu itu sebagai sakit? Apa mampu ia menyebutnya sebagai luka, sedang ia adalah subjek penentu dari ketidakpastian yang telah terjalin setelah malam temaram di kafe kecil tersebut? Ia tidak perduli sekitar hidupnya memandang sinis, ia tidak acuh terhadap bisikan-bisikan yang berhembus di sekitar mata-mata yang memandangnya. Ia terlalu aku untuk menjadi perduli terhadap tindakan acak yang menggoncang jiwanya hingga hari ini. Namun, adakalanya ia bertekuk lutut terhadap sakit yang entah bagaimana ia menjadi sakit? Tidak ada yang salah ketika ia memutuskan untuk mengakhiri apa yang ia mulai, tidak ada yang salah ketika ia menyudahi gejolak endorfin yang berawal dari sebuah keraguan. Semuanya berakhir bergitu lancar. Singgasana abu-abu telah menantinya kembali, walau godaan sentimental begitu kuat hingga membuatnya jatuh terduduk dan menyeret dirinya dalam pojok objektifisme. Ia berusaha memandangnya sebagai sebuah peristiwa yang berjarak dengan dirinya. Ia tidak ingin terlibat dalam keintiman perasaan yang berlebihan. Adakalanya ia berhasil mencapai titik tersebut. Namun, sialnya ada saja hal-hal sederhana yang secara tiba-tiba menjungkir balikkan posisi tertinggi dari kurva yang telah ia capai menuju jurang yang dipenuhi dengan bumbu-bumbu endorfin sesaat. 

Sakit yang tidak kunjung berakhir. Terkadang ia berpikir ia tengah terjebak dalam sebuah dunia sentimental yang berkali-kali ditancapkan ke dalam pemikirannya sejak kecil. Dunia sintemental yang dinyanyikan, difilmkan, dipertontonkan, dirasakan, dan didengarkan di seluruh dunia setiap detiknya. Bahkan grup band favoritnya pun menjadi penyumbang terbesar bagi kehidupannya dalam memberikan gambaran akan dunia sentimental ini. Mungkin ia adalah serpihan Big Bang yang belum sempat didefinisikan oleh ilmuwan, karena letaknya yang begitu jauh, sehingga ia tidak memiliki identitas. Ia sendiri tak mampu memberikan identitas terhadap dirinya, meski akhir-akhir ini ia menyadari bahwa ia adalah si zona abu-abu. Namun, hal tersebut dapat dalam sekejap berubah seiring dengan keaktifannya mengecek status-status pria tersebut dalam dunia maya. 

“Apakah alam semesta ini begitu luas hingga aku harus berteriak begitu kencang? Apakah tidak ada ilmuwan yang menyadari keberadaanku?”, suatu ketika ia berteriak.

Ah, lelah dalam tangis yang tidak membasahi pipinya. Capek tiada arti ketika ia mengetahui bahwa pria tersebut kini tengah mengalami badai endorfin karena ia telah mengakhiri masa suram sejak 4 Mei dengan menggandeng seorang pasangan baru. Apa lagi yang perlu dirasakan mungkin sudah tak mampu ia rasakan mendengar kabar tersebut. Ia terjebak dalam dunia angan yang menyebabkannya lelah dan sakit, terpojok dalam kesakitannya seorang diri. Koyakan demi koyakan yang terus menggerogoti hidupnya membuatnya terpental-pental bagai bola ping pong yang telah kebas terhadap pukulan-pukulan keras pemain tenis profesional. Ia semacam bola ping pong favorit yang sering digunakan oleh pemain tenis profesional tersebut, atau pemain tenis profesional tersebut tidak menyadari bahwa tanpa disengaja ia selalu menggunakan bola ping pong tersebut untuk latihan, atau pembantu pemain tenis profesional tersebut selalu lupa untuk mengganti bola ping pong yang sudah sering kena pukul ini? Kebas. Seminggu kemudian berlalu, ia bertemu dengan pria tersebut tanpa sengaja. Tepat di depan kafe temaram itu. Tepat pukul 8 malam. Sapaan sederhana terlontar dari mulutnya, kamu mau kemana? Bagaimana kabarmu? Sederhana, tidak berkesan, datar. Namun, bukan, itu hanya sekedar mimpinya, bagaimana bisa ketepatan terjadi dalam satu waktu dan cukup menggambarkan suasana hatinya. Yah, memang sekedar angan. Angan untuk menunjukkan eksistensinya yang kelabu. 

Sebulan berlalu dalam kebas. Sebulan berlalu memberikan ketenangan. Sentimental jiwanya berkurang. Sebulan berlalu bagai gantungan tas yang mengambang-ngambang, terkait pada sebuah tas yang menerima berbagai macam terpaan kerasnya kenyataan. Namun gantungan tas tersebut telah kebas dan cukup tenang. Sebulan dalam kewajaran baru yang tidak membutuhkan penjelasan akan frasa kewajaran baru tersebut. Mengalir begitu saja bagai udara yang berhembus setiap saat melalui rongga hidungnya, seperti tatapan yang berlalu begitu saja, seperti genggaman seorang Ibu terhadap anaknya ketika melintasi jalan. Semua terjadi begitu saja, dalam diam penuh udara dan kata, dalam ramai tanpa udara dan kata. Ia menikmatinya. Mungkin ini semacam fase baru akan kewajaran baru yang ia rasakan dalam sebuah ruang kehidupan. Mungkin ini ketenangan yang ia peroleh setelah melewati benturan-benturan keras. Mungkin ini zona baru yang akan ia nikmati untuk hari ini, besok dan selanjutnya. Hingga datang benturan lainnya yang akan mengguncang dua sisi makna hidup, kewarasan dan kegilaan. Entah, itu hanya semacam prediksi belaka di belantara ketidakpastian hidup ini. Entah.

Tidak ada komentar: