Jumat, 03 Juni 2011

Renungan Malam

Malam ini ditengah kejenuhan saya akan makalah-makalah kuliah, saya sedikit ingin berbagi tentang pengalaman hari ini, pengalaman saya menjadi interviewer kompas. Sebenarnya, saya sudah berkali-kali menjadi interviewer kompas, tapi entah kenapa baru kali ini saya merasa benar-benar bahwa memang benar ada yang salah dengan bangsa ini. 


yah, seperti biasa sebelum magang selama 2 sampai 3 hari di kompas, saya memperoleh telepon dari kompas. Saya langsung mengiyakan untuk merelakan waktu istirahat saya (tgl 1-2 Juni kebetulan kampus saya libur). Seperti biasa saya sampai di kantor kompas jam 9 pagi, kemudian memulai ritual yang sudah tidak asing bagi saya, yah, mewawancrai rakyat indonesia (penggunaan kata rakyat biar lebih nyentuh aja :) ), kebetulan tema polling kali ini adalah tentang partai demokrat. Yah, sebenarnya bukan pada kali ini aja saya mendapat tema tentang parpol, sebelumnya juga pernah. Yah, kemudian saya menjalankan pekerjaan saya sebagai interviewer mewawancarai via telepon dengan daftar telepon yang diberikan oleh pihak kompas. Sebenarnya semuanya berjalan seperti biasa saja, normal. 


Jika saya lagi bosan, saya buka handphone dan ngetwit (maklum pemudi jaman sekarang :) ). Lalu, saya juga membaca timeline twitter, disana banyak yang ngucapin tentang hari Pancasila, yah, saya juga baru sadar kalau hari itu adalah tanggal 1 Juni yang bertepatan dengan hari kelahiran Pancasila (hari kelahiran atau hari kesaktian, heheheh saya juga lupa). Saya membaca beberapa pendapat dari teman2 saya tentang hari Pancasila. 


Kemudian saya beralih kembali untuk menelepon responden (maklum kejar setoran :) ). Biasa, ada yang menolak, ada yang menerima (tapi saya sabar kok, :) ). Pukul 12 siang saya istirahat, yah layaknya orang yang kerja kantoran jam 12 siang istirahat. Saya sholat dna makan siang. Kemudian saya duduk di lobby kantor kompas dan saya tanpa sengaja membaca pendapat Anhar Gonggong, dosen Sejarah UI tentag pancasila. Anhar Gonggong mengatakan bahwa sejak kelahiran Pancasila hingga sekarang, tidak ada satu pemimpin pun yang sudah menerapkan Pancasila. Saya hanya bisa tersenyum dan saya semakin berifkir bahwa memang idealisme itu hanya ada di dunia ide, bukan di dunia realita... 
Pukul 1 siang sudah mendekat, dan saya segera menuju ruangan magang saya, yah melakukan ritual wawancara kembali. Saya melihat daftar telepon dan segera mengetik nomor telepon tersebut. Tut, tut, tut, suara telepon saya. Kemudian diangkat oleh seseorang yang saya tidak tahu siapa. "Halo", sapa responden. "Halo ibu, selamat siang", sapa saya. "Kami dari litbang harian kompas, saat ini kami sedang mengadakan polling atau pengumpulan pendapat masyarakat temanya tentang "kader politik Partai Demokrat", saya melanjutkan. Sebelum saya melanjutkan ucapan saya, tiba-tiba si ibu tersebut berkata "maaf ya mbak, saya enggak tahu hal-ha beginian". Kemudian saya menjawab"oh ibu, enggak usah khawatir ibu hanya menjawab puas, tidak puas, tidak tahu atau tidak jawab. "Enggak deh mbak, enggak, saya cuma rakyat kecil mbak, saya enggak mau tahu hal beginian, yang penting bagi saya, saya bisa makan mbak", si ibu itu melanjutkan. Saya langsung terdiam, terpana mungkin, saya juga tidak tahu mau berkata-kata apa. Tapi, saya terus membujuknya, yah, karena ini pekerjaan saya. 


Tapi, si ibu itu terus menolak. Dan saya sadar rayuan saya tidak mempan. Kemudian saya mengucapkan terimakasih atas perhatian dari si ibu tersebut dan saya menutup telepon. Seketika saya terhenyak, saya berfikir, apa yang salah dengan bangsa ini? Mengapa untuk mengkritisi pemimpinnya saja tidak mau? apa yang salah? Tiba-tiba saya teringat dengan hari Pancasila yang bertepatan dengan hari itu. Dan saya hanya bisa tersenyum,. tersenyum kecut. Saya teringat dengan Pancasila sila keempat yaitu  Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Saya jadi berfikir, kenapa si ibu ini tidak  mau berkomentar, apakah ia merasa bahwa pemerintahan yang sekarang begitu banyak boroknya dan ia takut berpendapat. Ia takut jika berpendapat mungkin ia tidak akan aman hidupnya. Padahal, kehidupan si ibu ini dan seluruh rakyat Indonesia ada di tangan pemerintah. Padahal sila keempat Pancasila juga sudah dirumuskan oleh Soekarno bahwa Rakyat dipimpin oleh pemerintah dengan kebijaksanaan. Dan melalui perwakilan pemerintah kehidupan musyawarah akan terwujud. Tapi, mungkin penolakan si ibu ini, karena memang pemerintah yang saat ini menjabat tidak lagi mewakili sila keempat tersebut. Ah,,, saya jadi teringat dengan pendapat Anhar Gonggong di koran kompas. 


Tapi, yah mungkin seperti itu keadaan bangsa Indonesia saat ini, siapa yang mau disalahkan? hehehehe, mungkin sekarang buakan saatnya mencari siapa salah, tapi siapa yang mau memperbaikinya? *sulit juga pertanyaannya yah*. Tapi, yah, dari diri kita belajar mencintai bangsa ini, dan belajar menjaga amanah dengan baik. 


Selamat malam
A Free Dreamer

Tidak ada komentar: