Senin, 09 Januari 2012

sekilas


Hujan turun begitu deras sore ini, jalanan begitu licin. Aku hanya menggunakan sepatu plastik murah yang aku beli di pusat perbelanjaan tiga bulan lalu. Licin begitu licin, harus benar-benar berhati-hati dalam melangkah. Harus benar-benar sadar memilih jalan yang layak menjadi pijakan. Genangan air dimana-mana, sebisa mungkin menghindarinya, tapi tetap saja air di genangan tersebut membasahi sepatu plastik ini. Sungguh terasa hingga ke dalam kaos kaki. Sial, sungguh sore yang sial. Kesal juga karena harus membolos kuliah sore hari ini. Melangkah begitu malas, berharap bisa terbang saja dan tiba di depan halte menunggu kedatangan bis. Sekalipun hati menggerutu begitu kesal tapi kaki terus melangkah. Suara air yang terinjak di atas ketergesaan menjadi irama musik sore ini. Iramanya ada tapi seakan pudar, pudar tapi sebenarnya ada. Syahdu sebenarnya suasana sore ini. Tapi apalah arti kesyahduan, lagipula siapa pula yang mau memperhatikan harmoni alam. Semua lelah, semua bosan, semua capek dan ingin segera sampai di kosan, rumah atau menuju tempat lainnya setelah selesai kuliah. Pikiran yang terlalu banyak seakan menutupi irama sore hari seusai hujan. Aku pun terus melangkah dengan tergesa-gesa, seakan-akan ingin segera lepas dari kutukan genangan air yang terdapat dimana-mana.

Lambat laun aku menurunkan ritme ketergesaanku, perlahan-lahan, karena banyak orang yang berlalu lalang di depanku, berlwanan arah denganku. Menunduk seakan memperhatikan genangan air, menghadap ke depan berharap tidak menabrak orang yang berjalan berlawanan arah denganku. Menunduk, menghadap ke depan, menunduk, menghadap ke depan, menunduk, menghadap ke depan, ke depan, ke depan. Langkahku terhenti. Senyap, dalam pikiranku senyap. Mulut seakan terkunci, kaki membatu, tubuh membeku. Pria berkacamata itu kini berdiri di hadapanku, dengan rambutnya yang basah, mungkin karena ia terkena gerimis, baju hitam dan celana hitamnya yang juga terlihat agak basah. Aku terdiam, mataku tertuju ke matanya. Aku berharap ia mengenaliku. Menyapaku. Pikiranku seakan-akan terhenti, tak mampu berfikir apa-apa, hanya berharap ia yang lebih dahulu menyapaku. Oohh, bukan perasaanku saat ini tepatnya aku ingin terbenam saja di tempat ini, tak sanggup aku sebenarnya menatapnya, apalagi langsung menatap matanya. Jika ia menyapa, apa yang terjadi? Mungkin aku akan terpeleset, aah bukan, itu skenario yang buruk. Aku ingin tersenyum saja, bersikap ramah, yaah aku ingin banyak bicara saja, sama seperti yang aku lakukan terhadap teman-temanku yang lain. Tapi apa bisa? Aah tidak, itu juga skenario yang kurang baik, aku akan berpura-pura saja tidak mengenalinya, berpura-pura bersikap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Bukan, bukan, ini salah juga. Jika aku bersikap tidak kenal maka pada kesempatan lainnya ia pasti tidak akan menyapaku. Lalu aku harus bagaimana? Aah tidak, lamunanku terlalu banyak nampaknya, padahal aku hanya menatap matanya. Tujuanku menatap matanya aku hanya ingin berbicara melalui mataku kepada matanya, hei kamu ingat aku tidak? Kamu pasti ingat. Kita pernah berkenalan sore itu, aku banyak berkata-kata sore itu, kamu banyak diam. Tapi ketika kamu mulai berkata, aku tercekat. Oohh sial, kalau sudah tercekat seperti waktu itu aku tak akan mampu melanjutkan kata.

Lagi, lagi, beberapa kali kita bertemu di gang itu, antara pengap karena  barang-barang yang menumpuk di sepanjang jalan gang itu dan lalu lalang pejalan kaki. Kita bertemu lagi setelah perkenalan kita sore itu. Aku mengenali tubuhmu dari jauh tapi aku tak berani sekalipun menatap wajahmu apalagi matamu seperti sore ini, aku menunduk. Malu, tercekat, aaahhh entahlah bagaimana kau akan menyebutnya jika aku menceritakan padamu nanti. Berlalu begitu cepat, tidak sampai satu menit, hanya beberapa detik, cepat. Menyesakkan. Menyesal. Sial. Mengutuk diri  aku setelah itu, dan setelah kejadian itu aku mulai merancang skenario, jika aku berpapasan denganmu lagi, maka aku akan menatap matamu yah tepat matamu. Ini kulakukan agar kau mengenaliku. Lupakan rasa tercekat itu, itu hanya perasaan bodoh. Toh, aku hanya tercekat tidak sampai ingin menutup mataku ketika bertemu denganmu. Kalau tercekat setidaknya aku masih mampu melihat matamu, yah masih mampu. Sore ini memang hari yang luar biasa sebenarnya, rasa kesal karena genangan air dan bertemu denganmu dalam keadaan yang tidak baik.

Ok, aku masih menatap matamu, tidak lama, tapi cukup lama juga daripada waktu itu kita bertemu di gang itu. Ooh, bukan aku salah, waktu itu kan aku tak berani menatapmu, yah intinya sekarang aku menatapmu, aku lebih beranilah. Tidak sampai satu menit, hanya beberapa detik tapi lebih lama dari kemarin, dan. Aahh,, ok aku mengalihkan tatapanku. Aku sadar saat ini kita hanya dua orang yang saling tidak kenal. Perkenalan waktu itu begitu singkat, sehingga keputusanku untuk mengalihkan pandanganku adalah semacam pemikiran cepat yang tiba-tiba saja hadir dan berusaha menyadarkanku, mana mungkin dia mengenaliku? Tidak akan mungkin. Pastinya. Terlalu singkat perkenalan kemarin itu, terlalu cepat. Aku memutuskan untuk terus melangkah, kini aku berjalan disampingnya, tepat disampingya, tapi aku terus melaju, hingga sampai di belakangnya aku menoleh ke arahnya, entah mengapa begitu refleks sepertinya. Tiba-tiba mulutku seakan ingin mengucap, tapi tertahan, tercekat tenggorokanku. Aku membuang mukaku, melanjutkan untuk jalan, mempercepat langkahku, pikiran seakan terhenti, tak ada perasaan apapun. Senyap. Senyap. Senyap.

Tidak ada komentar: