Rabu, 18 Januari 2012

Menghitung mundur

Menghitung mundur 22 tahun yang lalu, ketika seorang bayi perempuan lahir ke dunia. Seorang ibu melahirkannya dengan peluh dan harapan, dengan semangat menyayanginya semenjak janin itu tumbuh 9 bulan sebelum kelahirannya. Cinta yang berlimpah diberikan sejak ia mengetahui keberadaan janin tersebut hingga akhir hayatnya ia akan menjaga dan mencintai bayi tersebut yang kini telah tumbuh dewasa. Menjejaki 22 tahun yang lalu, membayangkan wajah lelah, keringat yang tidak Nampak bercucuran, pertengkaran yang sering terjadi mewarnai hubungan diantara mereka. 22 tahun bukan waktu yang lama untuk menumbuhkan seorang anak yang merasa memiliki sebuah dunia yang orang lain mungkin sulit untuk memahaminya. 22 tahun dalam sebuah dunia imajinasi dan scenario yang sesekali ia ciptakan untuk mengatasi kejenuhannya terhadap kemonotonan hidup yang telah terstruktur begitu rupa. Sesekali ia menganggap bahwa dirinya adalah seorang pria pendiam, dingin yang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Sesekali khayalannya berkelebat untuk menjadi seorang ksatria tempur di sebuah perang yang mempertaruhkan jiwa dan raga. Kadang kala ia bersikap-sikap seolah-olah ia adalah dektetif yang sedang menyelesaikan sebuah kasus. Ia bisa menjadi begitu tenang dan kadang kala bisa menjadi begitu berisik. Ia terkadang mengidamkan diri yang introvert tapi terkadang ia berpura-pura menjadi ekstrovert. Sebuah dunia ‘antara’ yang tidak ia pahami. Terkadang untuk terseyum pun ia begitu enggan, seakan angkuh dan menganggap bahwa ia mampu membuat sebuah dunia yang orang lain tidak paham. Ia mampu memahami dunia dengan rangkaian pikirannya yang berkelebat di benaknya. Rangkaian pikiran ini berkelebat begitu cepat terkadang, begitu angkuh melintasi hatinya yang telah terpatri kepada norma-norma masyarakat. Rangkaian pikiran ini, selama hampir 18 tahun terpenjara di dalam pikirannya sendiri. Ketika pada akhirnya meledak begitu saja, ini cukup mengejutkan, sempat membuat dirinya hampir melompat dari kereta yang sedang melaju cepat. hatinya yang menyuruhnya untuk melakukan tindakan ini. logikanyalah yang menjadi penyelamatnya, memintanya untuk barang sebentar memahami pikirannya. Dan yah, ia masih hidup hingga hari ini, hidup dengan lintasan-lintasan pikiran yang dahsyat, dengan khayalan-khayalannya yang terkadang membumbung tinggi melewati udara dan angin, bergerak begitu cepat hingga ia sendiri tidak sadar bahwa dirinya sedang berkhayal atau berfikir. Siapa yang tahu dulu ia hanyalah seorang gadis kecil yang polos, yang selalu berkelahi dengan kakak perempuannya memperebutkan eksistensinya di depan kedua orang tuanya. Walau ia selalu kalah, hal ini justru yang mengimunisasikan dirinya hingga akhirnya ia seperti ini, saat ini.

Tidak ada komentar: