Jumat, 18 Maret 2011

Part 2


Anggi mengusap keningnya yang basah tertutup jilbabnya. Terasa begitu panas cuaca hari ini, terasa begitu besar amarah yang ditunjukkan alam kepada manusia, atau ini suatu bentuk peringatan yang Tuhan berikan secara personal kepada Anggi? Tidak tahulah Anggi, ia tidak pernah mau merasa begitu pusing memikirkan mengapa dan bagaimana lagi. Terlalu lelah pikiran-pikiran aneh menggelayuti pikirannya. Terlalu banyak yang sebenarnya harus ia lakukan sebagai manusia normal yang selayaknya saat ini berada di kelas, duduk tenang mendengarkan dosennya ceramah memberikan kuliah. Pagi ini Anggi justru berencana pergi, hanya sekedar pergi mengelilingi Jakarta. Yah, bodoh memang, untuk apa mengelili Jakarta di pagi yang macet ini? Pertanyaan itu seakan-akan tidak pernah ada di benak Anggi, ia hanya menjalankan kata hatinya yang tiba-tiba muncul sebelum ritual komat-kamitnya selesai dan tertidur pulas. Aneh memang, tetapi saat ini yang ia percaya hanyalah kata hatinya, hanya kata hati yang baru-baru ini ia rasakan sebagai teman yang begitu dekat dan tidak akan pernah menjauh dan menyakitinya. Kata hati satu-satunya teman terbaik Anggi saat ini.


Di pojok belakang sebelah kiri Anggi duduk sendirian, bersebelahan dengan jendela. Ia memang mengharapkan belaian angin akan menyentuh jilbabnya, dan ia akan merasakan kesejukan yang luar biasa. Satu-satunya kenikmatan naik bis kota seperti ini adalah berada di posisi Anggi, karena meskipun dalam keadaan panas, disanalah surganya. Tiba-tiba Anggi tersenyum, senyumnya makin melebar dan tertawa terbahak-bahak. Penumpang bis kota yang duduk di belakang Anggi melihat Anggi dengan keheranan, mungkin ia bertanya-tanya kenapa seorang wanita yang berjilbab rapih dan duduk sendirian tertawa begitu kerasnya tanpa penyebab apapun. Penumpang tersebut terus memandangi Anggi dengan mata yang waspada, mungkin ia berfikir Anggi adalah salah satu pasien dari Rumah Sakit Jiwa yang baru saja melarikan diri. Namun Anggi seakan-akan tidak memperdulikan tatapannya itu. ia terus berdiam diri menatap pemandangan yang ia lihat melalui jendela bis kota tersebut. Anggi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sengaja menggaruk-garuk mungkin dia menganggap dirinya sedang berfikir, berfikir begitu keras, sangat keras. Setelah menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, kali ini Anggi tertawa lebih keras, tentu saja penumpang yang berada di belakang Anggi yang sedari tadi menatap Anggi dengan mata yang waspada kini terkejut. Wajahnya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti tadi. Ia mengangguk-angguk dan begitu yakinnya bahwa Anggi adalah orang gila yang baru saja kabur dari Rumah Sakit Jiwa. Orang tersebut berencana untuk meneriaki Anggi sebagai orang gila jika Anggi untuk ketiga kalinya tertawa untuk alasan yang tidak jelas. Namun Anggi tidak memperhatikan orang tersebut, Anggi tetap saja sibuk dengan pikirannya. Pikirannya kembali berkecamuk, kembali menghatamnya. Hingga Anggi tidak sadar bahwa sebenarnya saat ini ia sedang berada di bis kota. Ia sudah berjanji untuk mengabaikan pikirannya yang begitu keras, ia berusaha mengabaikan konsep idealisme apapun yang ia pikirkan, ia berusaha untuk manjadi pragmatis saja. Ia berusaha untuk menjadi manusia normal-normal saja, ia berusaha untuk tidak terikat dengan pikiran setannya ini. Tapi, tetap saja, setiap kali ia menolak pikiran-pikirannya ini, pada saat itu pula seberondong pertanyaan menghampirinya, berdesakan memasuki pintu pikirannya yang setiap harinya Ia tutup secara perlahan-lahan. Usahanya untuk menutup pikirannya ini seperti hanya sia-sia belaka, karena setiap kali Anggi menggeser untuk menutup pintu pikirannya hanya sekitar 1 cm, maka pertanyaan-pertanyaan yang datang ke pikirannya justru menggesernya kembali dan membukanya lebih besar dari 1 sentimeter. Entah apa yang menyebabkannya begitu memiliki banyak pikiran dan pertanyaan di benaknya. Ia bertanya-tanya apakah kedua orang tuanya juga mengalami hal yang sama seperti dia? Apakah kedua orang tuanya juga memikirkan idealisme-idealisme yang ia pikirkan? Anggi tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan ini. Baginya kedua orang tuanya hanyalah sepasang manusia yang hanya membantunya hidup di dunia ini, tidak lebih. Mereka tidak pernah mengajari Anggi bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mereka tidak pernah membantu Anggi mengapa pikiran-pikiran seperti ini hadir. Mereka ada hanya sebatas pada bagaimana Anggi bisa hidup dan mengeyam pendidikan. Pendidikan yang semampunya mereka berikan tanpa terlibat langsung di dalamnya. Anggi kali ini hanya tersenyum, tersenyum kecut dan kesal. Kali ini Anggi menyandarkan kepalanya di bangku bis kota. Ia menarik napas begitu dalam dan menghembuskannya seakan-akan ia tahu bahwa sekeras apapun ia mempertanyakan eksistensi kedua orang tuanya di dalam kehidupannya maka ia hanya akan menemukan jawaban eksistensi mereka hanya 0,5 % dari kehidupannya. 



Anggi menghembuskan napasnya lagi, kali ini ia melihat jam di tangannya. Ternyata baru pukul 10 pagi. Ia seakan-akan tersadar bahwa pukul 12 siang nanti akan ada satu mata kuliah yang begitu ia gemari, ia merasa begitu bahagia mengikuti kuliah ini. Kemudian Anggi berdiri dari bangkunya dan berjalan menuju pintu keluar, Ia meminta kepada kenek bis itu untuk berhenti di situ saja. Anggi turun dan menyebrang menuju arah yang berlawanan, ia menunggu bis kota yang akan membawanya ke kampus. Ia seakan-akan lupa dengan niatnya untuk mengelili Jakarta hingga malam hari pada hari ini. Di benaknya saat ini ia ingin menghadiri kuliah dan mendengarkan ceramah dari mata kuliah yang sangat ia senangi. Tidak lama ternyata untuk menuggu bis kota yang akan membawanya ke kampus. Kali ini Anggi langsung naik dan mengambil posisi tempat duduk seperti tadi. Anggi langsung menyandarkan kepalanya ke kursi penumpang dan tertidur. Mungkin Anggi sudah lelah untuk terus berfikir dan bertanya. Ia ingin menjadi manusia normal saja. Yah, normal seperti yang lainnya. Bangun pagi-berangkat kuliah-ngerjain tugas kuliah-berorganisasi-berbinis-hedon disana sini. Nampaknya itu lebih menenangkan daripada harus bercengkerama dengan pikiran-pikirannya yang begitu membelenggunya. Lagipula lingkungannya tidak membutuhkan pikiran-pikirannya ini, lingkungannya tidak butuh seorang yang berusaha merusak tatanan sosial yang sudah begitu lama tercipta. Lingkungannya akan sangat mencemoohnya denga ucapan-ucapan dan perkataan-perkataan yang bagi Anggi sendiri ia tidak tahu bagaimana menanggapinya. Anggi hanya butuh kenormalan, karena dengan kenormalan ia akan mendapatkan ketenangan. Setidaknya itulah yang Anggi percaya saat ini. ia sudah tidak membutuhkan lagi pikiran-pikirannya lagi. Kali ini Anggi tersenyum lebar. Ia merasa telah menang mengalahkan pikirannya. Ia merasa telah menggeser pintu pikirannya berpuluh-puluh sentimeter. 


Tidak ada komentar: