Kamis, 17 Maret 2011

Part 1

Berkali-kali Anggi mengganti posisi tidurnya, ia sulit untuk melepaskan apa yang ada di pikirannya, seakan-akan semua pikirannya menghantuinya. Begitu banyak pertanyaan yang menggelayuti hati dan pikirannya. Rasanya ia ingin melompat keluar dari jendela kosannya dan mengakhiri semua jeritan-jeritan pikirannya yang membuatnya sulit untuk tidur. Tapi, tidak bisa. Ia beranggapan dirinya masih manusia normal yang tidak mungkin melakukan kegilaan seperti itu, melompat dari jendela dan mengakhiri pikiran-pikiran yang menyiksanya. Kemudian ia berfikir lagi, jika ia langsung mati ketika terjatuh itu lebih baik. Tetapi jika ia langsung dibawa ke rumah sakit dan ternyata ia selamat, akan banyak pertanyaan-pertanyaan dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini justru makin membelenggu pikirannya. Tekanan sosial adalah hal yang paling dihindari Anggi selama ini. Baginya ia tidak ingin terikat dengan kontrak sosial yang disematkan oleh lingkungannya kepadanya. Walaupun dia sadar, sejak ia lahir pun kontrak sosial itupun sebenarnya sudah menjadi ikatan yang tidak akan pernah lepas dari kehidupannya. Tapi, setidaknya baginya kontrak sosial itu akan terasa menghilang ketika ia tidak berusaha melakukan tindakan-tindakan yang abnormal. Setidaknya ia tidak begitu merasakan bahwa kontrak sosial itu ada. 

Pikirannya sekarang justru memikirkan kontrak sosial dan kesemrawutan yang dibuat oleh manusia-manusia modern akan peradaban yang tengah diciptakannya. Anggi merasa peradaban seperti inikah yang akan menjadi sejarah, yang nantinya akan dituliskan oleh sejarawan tentang peradabannya sekarang. Peradaban yang diciptakan oleh peradaban-peradaban sebelumnya yang sekarang ini hanya menjadi pariwisata untuk mengeruk keuntungan dan mengeyangkan perut-perut gendut kapitalis. Ah,,, lagi dan lagi kapitalis ia menjadi teringat dengan ucapan Via bahwa sebenarnya di dunia ini pertarungan yang terjadi hanyalah pertarungan ideologi yang termanifestasikan ke dalam sub-sub yang lebih kecil dan terkadang tidak disadari oleh para pelaku bahwa ia sedang menjalankan ideologi tersebut. Anggi menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak, kata-kata ideologi terlalu berat untuk digunakan. Nilai-nilai mungkin lebih tepat. Nilai bagaimana untuk memperoleh keuntungan. Nilai bagaimana menjadi kaya dan melupakan lingkungannya. Nilai bagaimana memiliki pengaruh yang kuat di masyarakatnya. Itu yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat yang menurutnya masih bodoh untuk memilih seorang pemimpin. Pemimpin? Ini dia masalah yang laten sangat laten. Tiba-tiba Anggi tersenyum, teringat dengan pemimpin negaranya yang hanya pintar beretorika tentang janji-janji gombalnya untuk memperbaiki negaranya ini. pemimpin negaranya yang sangat memperhatikan citranya di mata publik. Penampilannya yang ramah dan sopan adalah dambaan ibu-ibu di sekitar rumahnya untuk menjadi pemimpin negara. Tidak heran ketika pemilihan umum kemaren pemimpin negara yang sekarang menjabat ini menang mutlak di lingkungannya. Penampilannya memikat, sangat memikat. Tapi semua itu Cuma omong kosong! Lihat kerjanya sekarang? Sampah! Pertengkaran terjadi dimana-mana. Kaum minoritas tertindas. Ia dituduh berbohong oleh para pemuka agama. Anggi tertawa benar-benar tertawa ketika mengingat berita-berita yang disiarkan oleh dua stasiun televisi tentang berita-berita terkait pemimpin negaranya ini. dan Anggi semakin tertawa ketika ia menyadari berita yang ia peroleh dari dua stasiun televisi ini pun belum tentu benar. Yah, mungkin berita-berita permukaannya benar tetapi narasi-narasi yang dibawakannya siapa yang tahu jika ada tujuan-tujuan tertentu. Kedua stasiun televisi swasta ini adalah milik dua orang yang berbeda. Yang satu milik seorang pengusaha yang gila dengan kekuasaan. Ia memiliki banyak perusahaan, 1 buah stasiun televisi swasta dan dia pernah menjabat sebagai menteri kesejahteraan. Anggi semakin tertawa, kali ini ia terpingkal-pingkal. Bagaimana bisa orang yang tidak pernah mengecap hidup susah menjadi menteri kesejahteraan? Dasar bodoh kau pemimpin negara. Bodoh! Berbicara tentang kesejahteraan harusnya kau angkat tetanggaku yang menjadi tukang sampah. Ia tahu bagaimana kesejahteraan itu seharusnya. Seharusnya ia yang menjadi menteri kesejahteraan. Televisi swasta yang satunya lagi sedang gencar-gencarnya mempromosikan organisasi barunya yang menurut teman-temannya Anggi itu adalah tandingan buat pemilik stasiun tv swasta yang satunya lagi. Sampah!


Kini anggi justru terduduk di atas tempat tidurnya. Matanya kuyu. Ia tidak dapat tertidur terlalu banyak yang mengganggu pikirannya. Ia tidak tahu harus bagaimana membuang pikirannya ini. terlalu banyak yang ia tahu sehingga ia memikirkannya atau dianya saja yang terlalu bodoh mau memikirkan semuanya. Anggi seakan-akan lupa bahwa masih banyak yang harus ia pikirkan.  Sudah 2 bulan ia tidak bayar kosan. Untungnya sang ibu kosan memahami keadaan anggi yang tidak pernah mendapatkan uang kiriman dari kedua orang tuanya. Anggi hanya mengharapkan beasiswa dan pekerjaan freelance. Tapi 2 bulan terakhir ini pendapatannya benar-benar hanya untuk makan dan memfoto kopi buku-buku yang mesti ia miliki untuk kuliah.

Kini anggi memutuskan tidur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin ia ingin membuang semua pikirannya yang kacau. Dan kini Anggi meletakkan tangan kanannya di atas dadanya dan berkomat-kamit. Mungkin ia sedang membaca doa. Dan dalam waktu yang tidak lama mulut anggi sudah tidak komat-kamit ia tertidur dan pulas.



2 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus ikoh :D asik bacanya, hhe,.

faiqoh mengatakan...

terima kasih alin,, :) btw, udah baca part2 dan 3 belum?? *promosi :)