Gadis itu berjalan menunduk, ia tidak memperdulikan sekitarnya. Ia hanya terus berjalan. Ia melewati kerumunan yang satu dengan yang lain tidak mengindahkan di sekitarnya membicarakannya. Ia tidak perduli. Sulit baginya sekarang untuk memperhatikan sekitar, baginya sekarang ia ingin segera sampai di kelas dan mengikuti pelajaran hari ini dengan baik. Ia ingin hari ini selesai secepatnya. Secepat tatapan itu, secepat kejadian kemarin, secepat-cepatnya dan harusnya lebih cepat dari apapun. Ia tidak membutuhkan tatapan aneh dari lingkungan sekolahnya. Ia hanya ingin hidup seperti yang lain, tertawa, menangis, gembira, sedih. Yah, seperti yang lain. Kini ia telah duduk di kelas dengan tetap menundukkan wajahnya. Ia melirikkan matanya ke sebelah kiri, ia seperti mencari seseorang namun ia tidak ingin lirikannya ini diketahui oleh teman-teman sekitarnya. Maka ia segera menundukkan wajahnya kembali. Kemudian bel masuk berbunyi, kini ia tersenyum. Pelajaran dimulai dan ia tidak lagi menundukkan wajahnya. Kini ia seakan-akan memasang wajah yang biasa saja, tidak seperti tadi wajah yang khawatir dan ketakutan. Namun sebenarnya terkadang ia mengerutkan dahinya. Mungkin pelajaran hari itu begitu sulit untuknya, tetapi agak aneh sebenarnya ia siswi yang pintar di kelasnya itu sangat pintar. Setelah mengerutkan dahinya begitu keras ia akhirnya menengokkan wajahnya ke sebelah kiri agak lama. Ia menatap salah satu bangku yang letaknya berada di sebelah kirinya namun satu bangku kebelakang dari barisannya. Bangku tersebut kosong, bangku tersebut sudah kosong sejak tiga hari yang lalu. Kini ia mengalihkan pandangannya dari bangku tersebut dan berusaha memperbaiki duduknya dan berusaha fokus ke depan, ke papan tulis melihat rumus-rumus yang dituliskan oleh gurunya. Ia mengangkat tangan kirinya dan menopang dagunya. Jari-jari tangannya tersebut tertekuk ke dalam, salah satu dari jarinya yang terletak paling ujung ia gigit. Tetapi sebenarnya ia seperti tidak menggigit jarinya tersebut, ia seperti menggigit bagian dalam dari rongga mulutnya yang terletak di bagian bawah. ia menunjukkan wajah yang gelisah kali ini ia tidak mengindahkan penjelasan yang diberikan oleh gurunya kali ini. ia sepertinya begitu asik dengan apa yang sedang ia pikirkan.
Tidak, tidak aku tidak mampu membaca apa yang sedang ia pikirkan, ia begitu serius dan terkadang sulit untuk ditebak. Kini aku ingin membiarkannya berfikir, yah berfikir seperti itu. biarkan saja. Jangan bertanya.
Bel istirahat berbunyi, wajah gelisah gadis itu kini sirna namun ia tetap berada di bangkunya, tidak sedikipun ia sepertinya berniat untuk keluar dari kelas dan menuju kantin. Tetapi mungkin ia sedang menunggu seluruh temannya keluar dari kelas. Kali ini ia mengangkat kedua tanganya dan berusaha menopang dagunya dengan kedua tangannya. Ia seperti membentuk segitiga sama kaki untuk menopang dagunya itu. kali ini tatapannya kosong. Mata hijaunya itu seakan-akan berubah menjadi abu-abu. Ia melamun tepatnya saat ini. namun tiba-tiba saja:
“Sam baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir”.
Ia menurunkan kedua tangannya dari dagunya, kini ia bersuara tanpa menoleh kepada sumber suara itu berasal.
“Aku tahu. Lagipula aku tidak mengkhawatirkannya”.
“Aku tak menyangka kau masih saja begitu dingin seperti ini, apa yang Sam lakukan seakan-akan tidak bisa meruntuhkan dinginnya dirimu”.
Kali ini ia berdiri dan melangkahkan kakinya menuju pintu, sesampainya di pintu ia berkata:
“Inilah aku”.
Ron merasa begitu kesal mendengar gadis itu berkata demikian, ia mengepalkan tangan kanannya dan membuang wajahnya ke kiri sambil menghela nafas. Kemudian ia mengeluarkan telepon genggam dari saku kirinya. Ia menekan tombol-tombol yang terdapat di telepon genggam tersebut.
“Tuuuutt, tuuuutt, tuuuutt, lupakan saja ia, Aku sedikitpun tidak menyukainya sejak awal. Kau ubah saja targetnya”.
Kemudian Ron menutup telepon genggamnya tersebut tanpa mendengar satu suara pun yang membalasnya di seberang sana. Ia berjalan keluar dengan wajahnya yang kesal.
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’
Bel sekolah berbunyi sebanyak tiga kali, itu tandanya pelajaran telah selesai. Ia langsung membawa tasnya dan menuju pintu. Ia langsung berlari begitu kencang seakan-akan ia sedang maraton. Ia terus berlari melewati gerbang sekolah, berbelok ke kiri dan terus berlari melewati rumah hijau yang sering ia lewati bersama Sam. Ia berlari melewati sungai dan terhenti ketika ia berada di depan jembatan sungai tersebut. nafasnya masih belum beraturan, ia seakan-akan sedang berfikir apakah akan melewati jembatan tersebut atau tidak. Tetapi ia akhirnya melangkah meskipun nafasnya masih tersengal-sengal, ia berjalan begitu perlahan, ia seakan-akan sedang melewati sebuah jembatan yang begitu rapuh dan tua. Salah, itu adalah jembatan yang begitu kuat dan kokoh. Jembatan tersebut dibuat dari beton. Jembatan tersebut dibangun sejak tahun 1980-an, sudah hampir 30 tahunan hingga sekarang namun jembatan tersebut masih berdiri kokoh dan angkuh. Seangkuh wajah yang ia tunjukkan ketika Sam mengulurkan tangan kepadanya tiga bulan yang lalu di jembatan tersebut. angkuh bukan sombong namun angkuh dengan wajah yang dingin. Tatapan matanya kala itu tidak setajam kali ini ketika ia melewati jembatan tersebut dengan hati-hatinya. Mata hijaunya seakan-akan menyala dan menyiratkan sebuah ketakutan yang luar biasa namun ia tetap melangkah. Ia melangkah seperti ujung kakinya hampir tidak menyentuh jembatan tersebut. Kini ia berada tepat di tengah-tengah jembatan tersebut, ia terhenti namun degup jantungnya berdetak begitu kencang, sangat kencang. Namun ia terdiam seperti tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan tersebut. ia menoleh ke kiri dan melangkah secara perlahan. Ia terdiam namun matanya menyorot dengan tajam, ia seperti sedang melihat sesuatu dengan seksama atau ia sedang memperlihatkan keangkuhannya kepada seseorang? Ia seperti sedang melihat sesuatu yang terletak begitu jauh hingga ia menunjukkan tatapan yang begitu tajam seperti itu.
Kemudian ia melepaskan tatapannya itu sambil membuang mukanya. Nafasnya tersengal-sengal kali ini ia terllihat begitu lelah, lebih lelah dari lari maraton yang ia lakukan dari sekolah menuju jembatan tersebut. keringatnya bercucuran, kemudian ia berjongkok dan memeluk tubuhnya sendiri dengan erat, kali ini ia menangis air matanya keluar begitu saja dari mata hijaunya. Hari sudah menjelang sore kala itu, angin bertiup begitu kencang hingga mengaburkan suara isak tangisnya. Namun ia tetap menangis meskipun air matanya yang jatuh langsung kering begitu saja tertiup angin sore yang kencang. Kemudian ia berdiri tanpa mengusap air matanya yang masih tersisa di pelupuk matanya. Ia melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Kali ini ia berjalan dengan kecepatan yang biasa.
Di ujung jembatan ketika gadis tersebut memulai perjalanan berdiri seorang pria yang kira-kira berumur 17 tahunan. Ia sedang menatap gadis itu, ia menatap dengan wajahnya yang datar dan dingin. Ia telah berada disana sejak gadis tersebut menangis di dalam pelukannya sendiri. Namun ia hanya memperhatikan gadis tersebut tanpa sedikitpun berniat untuk menghampirinya ataupun menyapanya. Pria tersebut masih menatap gadis tersebut hingga ia tidak mampu lagi melihat gadis tersebut yang lenyap di balik semak-semak yang terdapat di depan jembatan tersebut. kemudian pria tersebut bergumam: “The green eyes”.
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar