Kamis, 13 Oktober 2011

Sebuah Ruang

Ia tertawa untuk kesekian kalinya, seolah-olah ia baru saja menemukan kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan. Ia begitu bahagia nampaknya. Seakan-akan ia adalah orang terbahagia di dunia ini. Suara tawanya yang membahana menjadikan ruangan sebesar itu seolah-olah diisi oleh ratusan orang yang berdesak-desakan. Namun, tiba-tiba ia terdiam, terdiam begitu lama. Suasanan menjadi sunyi tidak ada lagi suara tawanya yang membahana. Seakan-akan kebahagiaannya telah direnggut oleh luasnya ruangan tersebut. Tidak ada suara apapun. Ia masih berada disana, terdiam tidak mengeluarkan kata ataupun gerakan yang akan membuat ruangan itu tidak sunyi lagi. Begitu lama, hingga mungkin orang lain akan mengira bahwa di ruangan itu tidak ada siapapun. Entah apa yang sedang terjadi dengannya, ia seperti sedang merenungi suatu hal, begitu lama, begitu khusyuk hingga ia tidak mengerluarkan suara atau gerakan apapun. Tiba-tiba terdengar suara derum motor yang melaju dengan perlahan. Ia semakin terdiam, membekukan badannya dan meringkukkan badannya yang kurus di atas tikar bambu yang ia beli sebulan lalu. Ia semakin membungkukkan badannya ketika derum motor tersebut perlahan kian menjauh. Ia seperti ketakutan atau entah bagaimana menyebut situasi yang sedang ia alami pada saat itu. Ia seperti sedang mengalami goncangan jiwa yang dahsyat, ia seperti telah mengingat sebuah peristiwa yang begitu membuatnya tersiksa.

Tidak lama kemudian suara derum motor telah hilang, kini ia melonggarkan ringkukan badannya. Dan akhirnya ruangan itu memiliki suara kembali, suara yang begitu menyayat hati, suara yang begitu memilukan. Ia mengelluarkan air mata, sesegukan, menarik nafas begitu dalam, kemudian sesegukan lagi, menarik nafas, terdiam, merenung, menangis kembali. Entah apa yang sedang terjadi dengannya, tidak ada yang tahu. Siapa pula  yang ingin tahu sebenarnya. Ia tinggal seorang diri, mengunci kisah pribadinya seorang diri, menjauh dari keramaian ketika malam datang. Ia seperti seorang filsuf, tapi ia nampaknya hanya berlagak-lagak menjadi seorang filsuf yang berusaha memikirkan hakikat kehidupan, memikirkan hal remeh temeh yang sebenarnya tidak pernah dipikirkan oleh manusia lainnya. Ia suka sekali menyusahkan dirinya dengan pergulatan batinnya sendiri. Ia suka sekali membuat dirinya tidak makan berhari-hari dan hanya terdiam merenung. Ia bukan filsuf! Ia hanya manusia biasa yang bodoh dan tidak tahu bagaimana seharusnya bertindak layaknya manusia biasa lainnya. Manusia biasa yang tidak akan menyusahkan dirinya sendiri, manusia biasa menuruti apa kata hatinya, manusia biasa tidak melanggar norma, manusia biasa hidup dengan logika dan hati. Ia sok-sokan ingin menjadi manusia yang tidak biasa dengan mengambil jalur hidup yang tidak biasa. Tapi, justru sikapnya itu membunuh dirinya, membunuh harapannya. Maka wajar saja bila ia sekarang terpojok sendiri di kehidupannya. Tidak ada yang akan perduli.

Air matanya, kini terus mengalir. Kemudian ia berkata: "Maaf, maafkan aku, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku begitu menolakmu tapi di sisi lain aku begitu menginginkamu, maaf, maaf jika aku tidak bisa mengikuti kata hatiku, logikaku menolak untuk memilihmu. Selama ini aku hidup dengan logikaku, jika aku hidup dengan hatiku yang selalu aku rasakan adalah perasaan sakit. Aku takut untuk mengalami sakit, Aku takut. Aku tahu kamu kini tidak menyukaiku, aku tahu kamu pun sedang memulihkan hatimu, tapi maafkanku. Aku lebih suka menjadi sendiri seperti ini daripada aku memilih bersamamu". Monolog penyesalan yang ia lontarkan begitu cepat seakan-akan monolog tersebut telah ia tuliskan sebelumnya dan kini ia hanya perlu mengulangnya. Perminataan maaf yang entah ia tujukan kepada siapa, sepertinya benar-benar ia lontarkan dari hatinya yang terdalam. Ah, bukan hatinya tapi logikanya mungkin. Ia sudah terlalu benci dengan hatinya, sudah terlalu kaku baginya untuk menggunakan hati dalam menjalani kehidupan. 


3 komentar:

Nurul Ain mengatakan...

Keren ka kata2nya, ada bakat jadi penulis nih kayanya hehe :)

Nurul Ain mengatakan...

Keren ka kata2nya, ada bakat jadi penulis nih kayanya hehe :)

faiqoh mengatakan...

aaahhh terima kasih... Masih dalam tahap belajar juga. :)